Jumat, 18 Maret 2016

makalah filsafat pendidikan


BAB II
PENGETAHUAN DAN NILAI

A.                .EPISTIMOLOGI DAN PENDIDIKAN
Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengertahuan‘logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata“episteme” dalam bahasa Yunani berasal kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Ada beberapa aliran yang berbicara tentang ini. Empirisme, Rasionalisme, Positivisme, Intuisionisme
Pengetahuan adalah salah satu kekuatan yang dapat membentuk sejarah peradaban suatu bangsa, dan bahkan kemajuan suatu masyarakat selalu di tandain dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan persekolahan selalu dikatakan memiliki hubungan siknifikan. Hal ini paling tidak disebapkan karena sekolah adalah lembaga tempat memberikan bimbingan,pengarahan, dan pembentukan kepribadian melalui pentransferan ilmu pengetahuan, pembinaan sikap mental, dan keteranpilan kepada subjek didiknya. Pengetahuan menurut beberapa ahli:
·       Robert M.Z. Lawang
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang dialami atau yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seseorang.
·      Menurut Pudjawidjana (1983), pengetahuan adalah reaksi dari manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar melalui persentuhan melalui objek dengan indera dan pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan sebuah objek tertentu.
·      Menurut Ngatimin (1990), pengetahuan adalah sebagai ingatan atas bahan-bahan yang telah dipelajari dan mungkin ini menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan yang luas dari hal-hal yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang diberikan menggunakan ingatan akan keterangan yang sesuai.


·         Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telingan.
  Dari beberapa pengertian pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu. Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak. Partanto Pius dalam kamus bahasa indonesia (2001) pengetahuan dikaitkan dengan segala sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses belajar.

1)           Tipe-tipe pengetahuan
a.             Pengetahuan wahyu (Reveaload Knowledge)
 Pengetahuan wahyu dapat digambarkan sebagai suatu bentuk pengetahuan atas kalam-kalam yang difirmankan tuhan, sang penguasa alam kepada manusia dalam kemahakuasaan-Nya melalui perantara para Rasul-Nya. Tuhan menberikan inspirasi pada manusia tertentu yang disebuat dengan Rasul untuk memberitahukan dan mengajarkan kebenaran pada manusia, agar apa pun keputusan dan prilaku yang membentuk jati dirinya benar-benar didasari pada kebenaran yang bersumber pada Tuhan Yang Mutlak.
Mengingat Pengetahuan wahyu tidak lain adalah kajian terhadap firman-firman Tuhan yang memiliki kebenaran sejati yang akan selalu benar,tampa terikat oleh ruang dan waktu, maka ada yang bepandangan bahwa  kebenarang pengetahuan ini bernilai mutlak karena memeng datang dari yang Mutlak, pemilik kebenaran sejati. Sedemikian rupa, sehinga eksistensinya pun tentu akan selalu diterima secara  a priori.  Walupun kebenaran Pengetahuan wahyu itu di anggap sebagai suatu yang suernatural, tetapi ketika pengetahuan itu disentuhkan dengan pikiran dan bahasa yang menjadi milik manusia, maka apakah hali ini meniscayakannya  pengetahuan jenis ini akan tetap bernilai mutlak? Persoalan ini kemudian menjadikan banyak para sarjanawan agama menghabiskan waktu untuk menyuaratkan arti yang tepat dari kata-kata yang terekspresi dalam teks kitab suci. Hal ini tidak lain adalah bagaimana menjadikan firman-firman Tuhan termanifestasi dalam kehidupan nyata sebagai lambang bahwa manusia telah berupaya untuk senantiasa memperoleh petunjuk dari Sang Pemilik ilmu dan kebenaran sejati


b.             Pengetahuan intuitif (Intuitive Knowledg)
Jika kebenarang dalam konteks  Pengetahuan wahyu merupakan suatu kebenaran yang diberikan tuhan  dari luar diri manusia, maka  Pengetahuan intuitif adalah suatau pengetahuan  tentang kebenaran yang dianugerahkan Tuhan dari dalam diri manusia yang paling dalam yang dalam berbagi variasinnya selalu melibatkan integritas akal dari hati sebagai dua  daya jiwa yang tidak terpisahkan. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan dimana seseorang mendapatkan di dalam dirinya suatu peristiwa insight. Insight atau intuisi itu merupakan suatu pritiwa  yang datang tiba-tiba dan memeunculkan suatu ide dan atu kesimpulan yang dihasilkan melalui proses ketidaksadaran individu yang panjang. Dari kesemua  peristiwa kebetulangini, kita melihat adanya solusi terhadap suatu problem yang tengah kita hadapi.
Pengetahuan intuitif merupakan semacama pengetahuan yang diajukan dan diterimana oleh seseorang berdasarkan kekuatan imajinatif atau pengalaman personal dari pribadi orang yang mengajukanya. Kebenarannya dapat dilihat seumpama karya seni yang merupakan bentuk dari pengetahuan intuitif itu. Kecuali itu dapat pula di lihat dari peristiwa insight dalam diri seseorang yang menjadikan dirinya mampu melihat sesuatu yang mengkin tidak mengikuti alur berpikir rasional. Ekspresi tingkah laku pun banyak merupakan wujud dari pengetahuan  intuisi ini.
Kita juga sendiri juga memiliki  sebuah bentuk pengetahuan intuitif yang baik. Pengetahuan yang kita ambil  dari pengalaman keseharian kita tentang orang lain, atau bahkan mungkin dari pengalaman kita tenteng diri kita sendiri. Kita telah merefleksikan kesemuanya itu  secara pasti tetapi kita tidak dapat menundukkannya pada suatu pemikiran yang sistematis ataupun mengujinya melalui uji observasi. Kita tidak dapat melakukan yang demikian, karena  memang kita tidak butuh  itu. Ia merupakan sebuah pengetahuan atau sebuah kesadaran yang meyakinkan kita melalui perasaan dan kemapuan kita menghayati kebenarannya karena memang kebenaranys berada dalam pengalaman subjek pribadi kita.
Paham yang mengembangkan pengetahuan intuisi ini dapat kita  dapati umpamanya pada ajaran filsafat Henri,Bergson (1859-1941), seseorang filsuf perancis yang berupaya menolak filsafat positivisme Auguste Comte yang mengajarkan paham empiris tentang pengetahuan yang lebih ekstrim mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia itu berada pada ilmu-ilmu positif, yakni suatu pengetahuan yang berangkat dari fakta-fakta yang terverfikasi dan terukur secara ketat. Bahkan slogam yang paling terkenal untuk aliran filsafat ini adalah dari ilmu pengetahuan akan muncul prediksi dan dari prediksi akan muncul aksi.


c.                  Pengetahuan rasional (Rational Knowledge)
Pengetahuan rasionla merupakan pengetahuan yang diperoleh  yang melalui latihan  akal budi dalam mencerna ragam realitas yang ada dan hal-hal yang mungkin ada, baik melalui dan atau tampa observasi keadaan-keadaan  aktual. Kebenaran pengetahuan jenis ini dapat ditunjukan melalui upaya mendeskripsikan alasan yang abstrak dengan menguakan tata logik  sebagai instrumen. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada pengalaman indera, tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera. Ambil prinsip logika bahwa dua kalimat yang kontradiksi tidaklah dapat benar pada objek dan waktu yang sama. Contohnya “Fido adalah anjing” dan “Fido bukanlah anjing”. Atau ambil prinsip jika A lebih besar dari B, B lebih besar dari C, maka A lebih besar dari C. Contoh yang lain, jika Boeing 747 lebih besar dari pada Flying Fortress, Flying Fortress lebih besar daripada Piper Cub, maka Boeing 747 lebih besar dari Piper Cub. Prinsip pengetahuan rasional dapat dipergunakan pada pengalaman indera, tetapi tidak dapat menarik kesimpulan dari hal tersebut. Tidak seperti kebenaran intuisi, pengetahuan rasioanal adalah valid ketika tidak mempedulikan perasaan kita dan kebenaran tersebut valid secara universal.
Data empiris dalam konteks pengetahuan rasional hanyalah salah satu  bentuk pembuktian  kebenaran suatu pengetahuan, bukan satu-satunya sumber yang dapat dijadikan sumber kebenrang pengetahuan. Sedemikina rupa,  sehinga dapat dikatakan,bahwa pengetahuan rasional adalah jenis pengetahuan yang membuat relasi realitas teoritik secara menyeluruh dan terpadau,berdasar kan pada hukum-hukum logika, dan karenanya  maka kebenran pengetahuan ini bersifat hipotesis.

d.                  Pengetahuan Empiris (Empirical Knowledge)
Pengetahuan empiris merupakan pengetahuan yang diperoleh atas dasar bukti penginderaan, misalnya dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, merasakan dan sentuhan indera-indera lainnya sehingga kita memiliki konsep dunia di sekitar kita. Paradigma dari pengetahuan empiris adalah ilmu pengetahuan modern dimana hipotesis ilmiah diuji oleh pengamatan atau oleh eksperimen untuk menemukan hipotesis mana yang paling memuaskan untuk fenomena tertentu. Meskipun demikian, suatu hipotesis tidak pernah dibuktikan secara mutlak. Hal ini hanya untuk menunjukkan kemungkinan yang ada. Paradigma empiris juga perlu menunjukkan bahwa pikiran sehat kita kadang-kadang dapat menipu kita, seperti ketika suatu tongkat yang sebenarnya lurus ketika didalam air terlihat dibelokkan. Ketika Socrates bertanya sebelum ia minum racun. "Benarkah pikiran sehat kita sehat? Apakah mereka akurat?" lebih dari itu, pikiran sehat kita dikondisikan oleh prasangka. Kita cenderung merasa apakah hal berada dalam kemampuan kita. Dengan demikian kita merasa berada dalam sebuah ruangan dengan latar belakang permanent yang mana kejadian yang unik terjadi pada saat berurutan. Pengertian ruang dan waktu adalah hampir bisa dipastikan suatu peristiwa dari kultur kita pada suatu langkah tertentu dalam pengembangannya.

e.                  Pengetahuan Otoritatif
Pengetahuan Otoritatif adalah suatu pengetahuan dianggap baik dan benar bukanlah karna kita telah membuktikannya sendiri sebagai suatu yang benar, tetapi lebi dikarenakan oleh bukti-bukti yang di proleh melalui otoritas para ahli dalam bidangnya. Saya menerima tampa ragu-rag, bahwa Jakrta adalah ibu kota Negara Indonesia, bahwa bahasanya adalah juga bahasa Indonesia. Saya menerima bahwa 1 km sama dengan 1000 m dan lain sebagainya  hanya berdasarkan imformasi dari bahan-bahan bacaan dan laporan-laporan penelitian yang dilakukan oleh oranga-orang yang memiliki  otoritas untuk itu. Hal ini dikarenakan kita percaya tampa  ada keraguan bahwa  apa yang kita dapati adalah benar karena  karena dikatakan oleh oranga-orang yang memiliki otoritas tentang itu. Sehinga kita pun menerima begitu saja  tampa perlu lagi mengadakan penyelididkana- penyelididkana ilmiah.
Pengetahuan Otoritatif merupakan pengetahuan yang telah diestablishkan dan diterimana pada otoritas seseorang.  Ketika imformasi pengetahuan datang dari seseorang  yang mempunyai otoritas  keilmuan dalam bidang yang dicari, mka dengan spontan  akan di percayai dan dianggap sebagai suatu kebenaran, sehingga  tidak memerlukan pengujian ulang ataupun mempertanyakan keabsahannya.

2)                  Epistemologi  Idealisme tentang  Pendidikan
            Tokoh utama aliran idealismae ini adalah  Plato (427-374) dengan ajaran filosofinya yang fundamental dengan mengatakan bahwa suatu yang riil adalah sesuatu yang berada di ruang idea. Menurunya,idea merupakan gambaran jelas tentang dunia realita yang ditangkap oleh panca indera manusia. Bagi aliran ini, idea itu sendiri bersipat tetap, tidak mengalami prubahan dan pergeseran. Apa yang terlihat oleh  kita sebagai suatu yang mengalami prubahan atau pergerakan sesunguhnya hanyalah karena  ketidak sempurnaan dunia idea  dalam penampakkan dirinya di dunia.
            Idealisme berkeyakinan, bahwa apa yang tampak dalam alam realitas bukanlah merupakan sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan bayangan atas apa yang bersemayan dalam alam pikiran manusia yang tidak lain merupakan ekspresi jiwa piki manusia  dalam merumuskan dunia ideanya ke alam materi. Menurutnya realitas kebenaran dan kebaikansebagai ”idea” telah dibawa manusia sejak dilahirkan, dan karenanya bersifat tetap dan abadi. Sedemikian rupa, sehinga ajaran poko filsafat  yang dibawa idealisme lebih mengagungkan jiwa dari badan.
            Tokoh-tokoh lain yang disebut-sebut sebagi pembangun aliran ini antara lain adalah: Hegal, Imanuel Kant, David Hume, Al Ghasali. Di dalam teradisi filsuf idealisme yang berbeda-beda telah pula melahirkan teori pengetahuan yang berbeda -beda pula.            Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan  yang di maksud dengans idea adalah hakikat murni dan asli  yang memiliki watak tetap dan konstan. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh dunia material. Pada kenyataanya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk. Demikian juga jiwa yang bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
          Ajaran yang menjadi karakteristik idealisme adalah seperti apa yang banyak dibicarakan oleh Plato sebagai bapak idealisme itu sendiri adalah teorinya tentang forma dan keabadian jiwa seseorang. Ajarannya tentang forma ini mengacu pada pengetahuan tentang suatu benda yang tidak berada di dunia empiris, tetapi lebih merupakan eidos yang bersifat abadi, dan konstan yang telah dibawa manusia sejak ia muncul ke dunia.
          Kaum idealis meyakini, bahwa pengetahuan sesungguhnya adalah produk akal an sich. Akal baginya merupakan kemampuan seseorang dalam melihat secara tajam bentuk-bentuk spritual murni dari sesuatu yang melampaui bentuk materialnya. Pengetahuan indra tidak akan dapat menjadi pengetahuan yang sebenarnya tanpa membiarkan akalnya bekerja untuk menyusun pengetahuan yang memadai tentang apa yang ia lihat. Sedemikian rupa, sehingga kaum idealis pun percaya bahwa apa pun yang tampak secara nyata dan ditangkap sebagai suatu kebenaran oleh indra manusia tidak lain adalah pantulan nyata dari apa yang sesungguhnya ada dan dirumuskan dalam dunia idea manusia yang ada bersamaan dengan adanya manusia di dunia. Konsep platonik ini kemudian dielaborasi secara metodologis oleh Hegel dengan mengatakan, bahwa pengetahuan itu hanya valid sepanjang pengetahuan itu membentuk sebuah sistem. Hal ini mengingat bahwa realitas yang sesungguhnya tidak lain adalah bersifat rasional dan sistematis. Berdasarkan tesis ini pula, selanjutnya Hegel dengan tegas mengatakan, bahwa pengetahuan kita tentang realitas adalah benar jika sesuai dengan sistematika rasio kita untuk itu. Semakin komprehensif sistem pengetahuan kita dan semakin konsisten ide-ide yang melingkupi tentang pengetahuan itu, maka dapat dikatakan pengetahuan itu semakin benar. Ajaran idealisme tentang antologi ilmu-ilmu menjadi dasar bagi pengembangan teori pendidikannya.Teori pendidikan Plato sebagai tokoh penting dalam idealisme mengarahkan perhatiannya pada empat fakta utama, yaitu:
1)             Ajarannya yang berkenaan dengan jiwa dan segala unsur yang menyangkut kesemua varian personaliti manusia.
2)             Ajaran pokoknya tentang masyarakat.
3)             Asjaran filsafatnya tentang hubungan individu dan masyarakat.
4)             Pendasaran pendidikan pada hal-hal sebelumnya.
          Dalam ajaran filsafat idealisme, pengetahuan merupakan suatu bagian dari pemikiran manusia yang dikategorisasikan melalui alam objektif yang ditangkap melalui indra manusia. Oleh karena itu, objek pengetahuan mestilah melalui idea-idea yang keseluruhan koneksitasnya bersifat sistematis.
          Menurut Plato, pengetahuan adalah suatukeadaan yang berhubungan dengan pikiran individu yang ditandai dengan suatu kepastian seperti yang ditunjukkan oleh alam dan objek-objeknya. Bagi Plato, dunia observasi adalah suatu sistem komperhensif dari dunia ide yang akan menjelaskan dunia itu. Hasil pandangan inilah yang secara nyata membawa perubahan  bagi dunia partikular. Pengetahuan dalam bentuk ini adalah ketika imaji-imaji ide membatasi lingkupnya san menghubung-hubungkan bahagian yang satu dengan yang lainnya sehingga ia masuk pada dunia nyata yang diobservasi lewat indra.
          Berdasarkan ini semua, maka akhirnya Plato menyimpulkan bahwa pengatahuan berada dalam dua tingkatan, yaitu hipotesis dan kepastian absolut. Plato berpendapat, bahwa pengetahuan adalah kesadaran dunia idea manusia bahwa pengetahuan yang diajukan dan kesadarannya memiliki hubungan sistematis dengan keseluruhan idenya tentang kebaikan yang mutlak sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan manusia. Dalam bukunya Republic, Plato menulis bahwa teori tentang forma mana pun baru bisa dibenarkan, jika argumennya koheren dengan prinsip kebaikan tertinggi yang disebutnya dengan “The Beautiful” (Yang Indah). “Yang Indah” ini merupakan sumber dari segala eidos. Ia adlah sumber segala pengetahuan manusia dan kebenaran.


          Plato dalam hal ini menempatkan konsep the idea of the good ini sebagai orientasi pendidikan dan menjadi sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam mengembangkan konsep dasarnya tentang pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang idea ini memberikan keyakinan bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio manusia.
          Secara implisit terlihat, Plato cenderung untuk mengatakan bahwa belajar bukanlah didassarkan pada pengetahuan empiris, tetapi hendaklah melalui pembinaan rasio. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa rasio manusia adalah sesuatu yang laten dalam tahun-tahun pertama kehidupan manusia dan bahkan selama perjalanan kehidupan manusia di dunia. Oleh karena itu, bagi idealisme, pembinaan rasio merupakan tugas utama dan pertama dalam dunia pendidikan. Hal ini penting mengigat aspek kematangan rasio ini merupakan titik tolak beragam aktivitas intelek manusia seperti aspek imajinasi, kreativitas, inisiatif pengetahuan, dan bahkan semua aktivitas yang bermuara pada lahirnya beragam inovasi dalam keseluruhan ini kehidupan tidak dapat terhindar dari kematangannya. Hampir semua kelompok idealisme termasuk Immanuel Kant sebagai tokoh yang dianggap sebagai puncak idealisme di jerman menyebutkan, bahwa esensi pengetahuan adalah imposisi maknawi dan bentuk yang dikumpulkan melalui imformasi yang diambil melalui indrawi. Bagi mereka, inti pendidikan terletak pada pengajaran dan pelatihan, terutama yang diperlihatkan melalui contoh-contoh yang diberikan oleh orang dewasa terhadap subjek didiknya. Dalam ajaran filsafat idealisme dikatakan, bahwa tujuan mengajar bukanlah sekedar menghadirkan sebanyak-banyaknya imformasiatau pengetahuan kepada subjek didik yang dapat membantunya memahami bentuk dan arti tentang hal itu. Beberapa kaum idealisme yang dikenal sebagai kaum personalis menyebutkan bahwa subjek didik mesti diarahkan agar mampu mengaitkan imformasi yang diberikan pada pengalaman yang mereka miliki sebelumnya sehingga apa yang mereka pelajari memiliki arti baginya secara personal.
          Plato sebagai tokoh idealisme ternama berpendapat bahwa belajar tidak dapat dimaknai hanya dalam pengertian pemberian pengetahuan seluas-luasnya kepada subjek didik. Bagi Plato, perkembangan normal belajar anak manusia selalu diawali dengan penyempurnaan wilayah persepsi, terus melalui konveksi dan pemahaman maka akan diperoleh pemenuhan aktivitas akal. Plato berpandangan bahwa semua orang dapat membentuk pemahaman yang benar tentang dunia dan moral. Oleh karena itu belajar mestilah juga dipahami sebagai pembiasaan dan pelatihan. Semua manusia memiliki kemampuan untuk mencapai nilai moral, karena memang ia lahir untuk merealisasikan nilai moral itu.


3.       Epistemologi Realisme tentang Pendidikan   
          Realisme merupakan filsafat yang memandang bahwaa suatu yang riil adalah sesuau yang bersifat fisik dan psikis. Beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai pendukung aliran ini antara lain: Ariestoteles, John Amos Comenius, Francis bacon, John Locke, Galileo, David Hume, dan John Stuart Mill.
          Realisme melihat adanya hubungan dealektik antara subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak namun di pihak lain ada realitas yang lain yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang dijadikan objek pengetahuan. Suatu pengetahuan dapat dikatakan benar apabila ada kesesuaian dengan dunia faktual, dapat diamati, dan bersifat substansif. Aliran realis menekankan, bahwa sesuatu itu dikatakan benar jika memang tiil dan secara nyata memang ada.
          Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek sebagai realitas yang menyadari dan mengetahui di satu sisi, dan realitas yang berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan di sissi lainnya.
          Kaum realisme menolak pandangan kelompok idealisme yang mengatakan, bahwa fikiran manusia dimuati oleh kategori-kategorinnya, seperti substansialitas dan kausalitas tentang data indrawi seperti yang diterangkan ia atas. Kaum realisme berkeyakinan, bahwa dunia yang kita terima ini bukanlah sebuah dunia yang kita ciptakan kembali secara mental, tetapi merupakan sebuah dunia apa adanya. Substansialitas, kausalitas, dan bentuk-bentuk alam bukanlah semacam proyeksi dan pikiran, tetapi lebih merupakan segi-segi dari benda-benda itu sendiri. Sains natural mengembangkan sebuah gambaran yang berbeda tentang dunia dari pengalaman keseharian kita.
          Bagi kelompok realis, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia riil. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat dikatakan diterima sebagai suatu kebenaran semata-mata hanya karena ia koheren dengan pengetahuan kita. Jika pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal itu hanya lantaran “yang lama” itu memang benar, yaitu disebabkan pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi dengan kasus itu. Interaksi rasio manusia dengan alam natural tidak akan mempengaruhi sifat dasar manusia. Dan karenanya koherensi tidak melahirkan kebenaran. Ketika dua atau lebih teori tentang keterkaitan segi-segi dunia berhubungan pada segi-segi yang mereka gambarkan, maka secara natural mereka pun secara nyata akan mendukung satu dengan lainnya.
          Realisme yakin bahwa pengetahuan selalu dihasilkan dari proses pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari kemampuan manusia sebagai subjek dalam menyerap dunia objek. Dengan demikian pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia sebagaimana adanya. Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah menempatkan sejumlah pengetahuan yang kebenarannya telah dikonfirmasi secara berulang-ulang. Oleh karena itu, epistemologi pendidikan dalam filsafat realisme adalah proses ilmiah yang ditujukan pada hal-hal yang berkenaan dengan ragam persoalan pendidikan seperti mengenai realitas peserta didik, pendidik, isi pendidikan, strategi dan lain sebagainya yang dapat digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai dasar utama dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan.
          Realisme mengajarkan bahwa menanamkan pengetahuan tertentu kepada anak yang sedang tumbuh dan berkembang merupakan tugas paling pentingdi sekolah. Oleh karena itu, inisiatif dalam dunia pendidikan terletak pada guru sebagai pengalihan warisan budaya bukan pada siswa. Guru yang mesti memutuskan ke arah mana subjek didik mau diarahkan dan apa saja subjek matters yang mesti mereka pelajari di kelas. Jika subjek matters ini dapat dibuat untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan personal anak dalam masyarakat, maka ianya semakin baik. Tetapi memuaskaan siswa secara personal jauh kurang penting dari pada menanamkan subjek matters yang benar. Mengajarkan pengetahuan pada siswa merupakan tujuan yang sesungguhnya dalam pendidikan.
          Aliran realisme dan konteks ini meyakini, bahwa memuaskan subyek didik hanyalah sebagai instrumen untuk perahian tujuan pendidikan, bukan sebagaai fokus aktivitas pembelajaran. Hal ini diperlukan dalam implementasi setiap strategi pembelajaran yang telah ditetapkan guru sebagai langkah penting dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
          Epistemologi realisme tentang pendidikan seperti dikemukakan di depan meniscayakan bahwa setiap proses pembelajaran mesti didekati dengan pendekatan induktif, bukan deduktif. Pendekatan ini baginya adalah cara yang relevan untuk menanamkan pengetahuan dan nilai ke dalam diri subjek didik. Baginya, hal ini sejalan dengan watak manusia dalam memperoleh pengetahuan yang memang bersentuhan dengan sendi-sendi dunia yang secara nyata berhubungan satu dengan yang lainnya.




4.       Epistemologi Pragmatisme tentang Pendidikan        
          Kaum pragmatisme meyakini bahwa pikiran manusia bersifat aktif dan berhubungan langsung dengan upaya penyelidikan dan penemuan. Pikiran manusia tidak mengonfrontasikan dunia yang ia terpisah dari aktivitas penyelidikan dan penemuan itu. Pengetahuan dunia dibentuk melalui pikiran subjek yang mengetahuinya. Kebenaran tidak tergantung pada korespondensi ide manusi dengan realitas eksternal, karena realitas bagi manusia tergantung pada bagian dalam ide yang menjelaskannya. Pengetahuan adalah produk transaksi antara manusia dan lingkungannya dan kebenaran adalah suatu proferti bagi pengetahuan. Lantas.
          Kelompok pragmatisme mengklaim bahwa suatu ide dikatakan benar jika ia benar-benar bisa diterapkan. Hanya William James yang menyebutkan, bahwa ide itu dikatakan benar jika memberikan konsekuensi bernilai dan atau fungsional bagi personnya. Sedangkan Peirce dan Jhon Dewey memberikan klaim bahwa suatu ide itu dikatakan benar hanya jika memiliki konsekuensi yang memuaskan ketika secara objektif dan saintifik ide itu dapat dipraktikkan  secara memuaskan. Jadi, kaum pragmatisme memandang kebenaran suatu ide tergantung pada konsekuensi yang muncul ketika ide itu dioperasikan di alam empiris.
          John Dewey menyebutkan, bahwa pikiran manusia bukanlah suatu yang ultimate dan absolut, tetapi lebih merupakan suatu bentuk proses alamiah di mana ia muncul sebagai hasil dari hubungan aktif antara organisme yang hidup dengan lingkungannya. Pikiran manusia selalu berawal dari dunia pengalaman dan untuk akan kembali ke dunia pengalaman.  Ada hubungan interdependensi antara fikiran dan pengalaman empiris yang meniscayakan perubahan-perubahan. Tidaklah dikatakan pengetahuan jika tidak membawa pada perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi, nilai pengetahuan dilihat dari kadar instrumentalisnya yang akan smembawa pada akibat-akibat baik yang telah atau yang akan dihasilkan oleh ide pikiran dalam dunia pengalaman nyata.
          Pragmatisme juga mengatakan bahwa method of intellegence merupakan carayang ideal untuk mendapatkan pengetahuan. Kita menangkap sesuatu yang terbaik menurut kaum pragmatis mestilah melalui melokalisasi problem sedemikian rupa dan memecahkannya. Menghadapi sebuah problem, intellegence mengajukan hipotesis tentang problem itu. Hipotesis sebagai suatu kesimpulan yang diajukan untuk memecahkan suatu problem, secara sukses merupakan hipotesis yang menjelaskan fakta-fakta dari problem itu. John Dewey mengklaim, bahwaa dalam proses pengetahuan diperlukan adanya konsep yang dikonfirmasi

secara objektif dan operasional dan dapat bekerja sebagai dasar bagi pengaturan hipotesis yang diajukan yang selanjutnya akan menjadi bahan pertimbangan untuk pemecahan problem berikutnya.    

5.       Epistemologi Islam tentang Pendidikan
          Islam secara nyata membedakan antara `ilm dan ma`rifah. Dua istilah ini memberikan pemaknaan tersendiri bagi pengetahuan islam. Kata `ilm lebih ditujukan untuk memaknai suatu pengetahuan yang  didasarkan pada nilai-nilai objektif empiris, maka kata ma`rifah lebih diaksentuasikan pada pengetahuan yang bermuara pada yang Transenden, Tuhan.
          Kendatipun al-Tusi dan al-juwaini memaknai istilah `ilm dan ma`rifah ini dalam bentuk padanan yang sama, Raghib al-isfahani dalam hal ini justru memberikan pengertian yang berbeda. Jika kata `ilm memberikan penekanaan pemahaman pada persoalan ilmu fisika, maka kata ma`rifah lebih diarahkan untuk menunjukkan pengetahuan-pengetahuan yang bermuara pada nilai-nilai transendal.
          Kata ma`rifah lebih ditujukan dalam wacana teologi pengetahuan tentang Allah SWT, sedangkan kata `ilm menunjuk segala sesuatu dalam konteks objektif-empiris yang lebih ditujukan pada aspek metodologis dan aksiologi dari pada aspek ontologis-metafisis.
          Pemaknaan `ilm yang disamakan dengan ma`rifah, memaknai istilah ilmu lebih pada sisi ontologis-metafisis dari pada aksiologis-etis. Kendatipun demikian, mesti pula diakui bahwa dalam implementasi ilmu ini nantinya tentu tidak dapat dilepaskan dari nilai etis-relijius yang humanis. Ilmu pengetahuan yang dipahami oleh al-Tusi dan al-Juwaini dalam konteks ini adalah pengetahuan tentang dunia objek yang diketahui sebagaimana adanya. Pemaknaan pengetahuan sedemikian memiliki implikasi pada bidang pendidikan yang juga diorientasikan pada refleksi nilai-nilai ilahiah dan bagaimana pendidikan memberikan pemeliharaan dan penyempurnaan nilai-nilai insaniyah yang berdimensi moral agar ia selalu berada pada dimensinya yang fitri sesuai dengan misi pengutusan Rasul yang tidak lain adalah penyempurnaan nilai-nilai moral di dunia.
         


Mengingat ibadah dalam islam selalu dikaitkan dengan aktivitas berpikir dan memang berpikir adalah perintah ilahi agar manusia bisa beriman, maka meniscayakan pengetahuan rasional di dalam proses kependidikan islam berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. Pengetahuan rasional dalam islam bukan melulu akal dan bukan melulu indrawi, tetapi ada jalinan.
          Islam memberikan keyakinan bahwa pembentukan engetahuan erat kaitanya  dengan penciptaan hubungan manusia, alam, dan tuhan dalam siklus  yang tidak terputus.

B.           Nilai dan pendidikan
Nilai adalah gambaran tentang seuatu yang indah dan menarik, yang mempesona, yang menakjutkan, yang membuat kita bahagia, senag dan merupakan sesuatu yang menjadikan seseorang atu kelompok orang yang ingin memilikinya.
          Nilai itu tersebar di setiap  sudut wilaya pendidikan. Nilai itu mencakup setiap aspek praktik sekolah. Nilai itu merupakan dasar bagi sebuah peroalan pilihan  dan pembuatan keputu.  Mengunakan nilai, guru mengevaluasi siswa  dan siswa mengevaluasi guru.  Masyarakat mengepvaluasi perjalanan studi program sekolah dan bahkan kompetensi guru. Sebaliknya, masyarakat  itu sendiri dievaluasi oleh guru. Ketika kita  membuat suatu keputusan tentang praktik pendidikan, ketika kita meramalkan segi-segi kebijakan pendidikan, pertanyaanya adalah apa jenis  nilai yang kita  terapkan.
          Pada dasarnya nilai memiliki pengertian yang luas, sehinga selalu urainnya dalam beragam makna.  Nilai dapat diartikan dalm makna benar dan salah, aik dan buruk,  manfaat atau berguna, indah atau jelek, dan lain sebagainya. Kualitas nilai biasanya terlihat terlihat pada rasa puasnya seseorang dalm melihat hasil karyanya. Seseorang akan merasa bahagia  jika telah berbuat yang benar  dan merasa gelisah jika tidak dapat  merealisasikan apa yang dianggapnya benar.  Seseorang akan merasa bermakna dalam hidupnya jika ia telah dapat mewujutkan kebaikan tertiggi dalam hidupnya. Oleh karena itu, istilah nilai selalu dihubungkan pada penujukan kualitas seseuatu benda ataupun perilaku dalam berbagi realitas.  Studi umum tentang nilai, dikenal dengan aksiologi.
          Sebagian orang berpendapat, bahwa nilai itu adalah absolut dan abadi. Nilai-nilai ini merupakan  sesuatu yang valid  hari ini adalah juga valid pada masa lalu  dan juga valit untuk setiap orang  tampa memperhatikan  ras dan kelas sosial.

1)           Nilai dan Pendidikan Menurut Aliran Idealisme
Seperti telah diuraikan diatas, kaum idealisme dengan pahamnya bahwa sommum bonum (ide kekuatan tertinggi) kehidupan manusia sesungguhnya telah ada bersamaan dengan kemunculan  dirinya ke dunia, menjadikan, bahwa nilai apa pun selalu brsifat tetap dan tidak berubah-ubah, absolut. Nilai-nilai kebaikan  dan kebijakan; yang benar dan yang cantik sesungguhnya tidak akan berubah secara fundamental suatu generas kegenerasi ke generasi berikutnya, dari masyarakat yang satu ke masyarakat berikutnya.
Idealisme percaya bahwa nilai sesungguhnya bukanlah produk dari manusia, tetapi lebih merupakan bahagian dari alam jagad raya. Sedemikian rupa maka aliran ini pun mengakui bahwa apa yang di katakan baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek, bahagia-sensara. Oleh karena itu, tugas manusia adalah bagaiman agar nilai-nilai kebaikan itu teraplikasi dalam konteks realitas aktivitas di dunia.
Dengan tegas Plato mengatakan bahwa kehidupan yang baik hanya terdapat dalam masyarakat yang baik. Dalam buku republic-nya ia menguraikan masyarakat yang ideal yang di atur oleh elit-elit raja yang filsuf dan berakhlak mulia. Hegel dengan hal ini juga menyebut bahwa individu mengambil pemahaman  dan praktik moralnya dari negara bertatana nilai moral.
Para tokoh utama idealisme ini sepakat bahwa perwujudan nilai-nilai kebaikan dan kebijakan yang telah dibawa manusia sejak lahir sangat tergantung pada tatanan kehidupan dalam masyarakat.


2)               Nilai dan Pendidikan Menurut Aliran Realisme
            Ralisme sependapat dengan idealisme yang menyatakan bahwa nilai fundamental  dalam diri manusia bersifat permanen dan absolut, namun masing-masing mereka berbeda  dalam argumentasi. Jika idealisme berpendirian bahwa absolutisme nilai hanya karena  memang ia bukan produksi manusia tetapi bahagian dari  alam jakat raya dan dibawa manusia sejak di lahirkan ke dunia, maka realisme melihat absolutisme nilai semata-mata karena akal yang dianugerahkan kepada manusia mampu menpuh ruang nilai yang ditentukan tuhan
          Realisme percaya bahwa  dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta menunjukkan, suatu meja tetap sebagaimana adanya,  kendati  tidak ada orang di dalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi meja itu tidak tergantung kepada gagasan kita  mengenainya, tetapi tergantung pada meja tersebut.
          Kelompok realisme sependapat dengan kelompok idealis bahwa nilai fundanental bersifat permanen, tetapi mereka berbeda pendapat  di dalam alasan untuk menyatakan hal itu. Kelompok realisme klasik sependpat dengan Aristoteles bahwa ada hukum-hukum moral yang universalyang mengikat manusia sebagai makhluk rasional. Kaum realisme relejius berpendapat bahwa kita dapat memahami banyak hal dari hukum-hukum moral universal ini telah ditetapkan oleh Tuhan yang telah menganugerahi kita dengan akal untuk dapt memahami hukum-hukum moral Tuhan tersebut.
          Kelompok realisme menyatakan bahwa etika naturalistic tidaklah cocok, karena manusia diciptakan untuk melampaui yang natural dan mencapai yang supernatural.Tujuan sesungguhnya dari pendidikan moral adalah penyerahan jiwa pada tuhan.Oleh karena itu subjek didik harus diajar menjaga jiwanya dalam keadaan yg baik, yakni dengan mengisinya dengan kebesaran tuhan dan terlepas dari dosa besar.Subjek didik harus mengupayakan yg baik dan menghindari yg jahat, tidak karena akal yg melarangnya tetapi juga karena memang tuhan tidak menghendaki hal itu.Kelompok realis yang relijius ini menempatkan manusia seperti intelegnya.Bagi kelompok filsafat ini, walaupun tuhan mengajak penyerahan diri, namun individu tetap bertugas untuk memutuskan apakah menerima atau menolaknya.Dengan demikian, keinginan harus di biasakan untuk membuat pilihan pilihan nilai yang benar.Bagi realism realijius ini, manusia dapat dirusak oleh kecenderungan dirinya pada yang tidak baik, maka baginya, pendidikan secara essensial memiliki peranan korektif untuk kondisi ini. Dalam konteks ini, memperkuat disiplin dibutuhkan untuk mengiliminasi kebiasaan yang buruk dan mengembang  kebiasaan yang  baik  dalam diri individu. Kendatipun  akan tidak  memiliki  otoritas,  namun  sesungguhnya  pemahaman  yang  sempurna  tentang  hakikat  sesuatu  terletak  pada  kekuatan  akal ini. Dan kita mesti  mendalami  keyakinan   yang dapat  membawa  kita  ke  sana.  Akal  mesti  menyokong  keyakinan  karena  tuhan   telah  memberikannya   kepada  kita  sehingga  kita  dapat  mengenalnya  lebih  baik.
Berbeda dengan   aliran realisme  relijius,  kelompok  realisme  saintifik  justru mengajarkan bahwa sesuatu yang benar dan yg salah adalah produksi akal manusia dalam memahami suatu realitas, bukan dan prinsip prinsip agama. Oleh karena itu, nilai moral pun harus di dasari pada prinsip prinsip penelitian ilmiah yang telah menunjukkan kemanfaatannya kepada manusia sebagai makhluk yang paling tinggi Penyakit adalah sesuatu yg tidak diharapkan, karena memang ia tdk baik. Kesehatan adalah sesuatu yg diharapkan dan disukai semua orang, karena sifatnya baik. Kita mesti meningkatkan dengan ukuran meningkatnya konstitusi genetik  kita dan menundukkan hal hal yg tdk diinginkan dengan upaya meningkatkan lingkungan   di  mana  kita  hidup.  Jadi, dapat  di  pahami  bahwa nilai  moral selalu  muncul  dari  upaya penyelidikan  seseorang  akan  nilai  kebenarannya  dan  karenanya  dapat  dibuktikan  secara  ilmiah.

3)                  Nilai dan Pendidikan Menurut  Aliran Pragmatism
Bagi kelompok pragmatis nilai itu bersifat relatif. Etik dan aturan-aturan moral tidak permanen tetapi tampil karena perubahan budaya dan masyarakat. Ini tidak menunjukkan bahwa nilai-nilai moral  itu bersifat fluktuatif  dari masa kemasa. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada perintah tertentu yang dianggap sebagai pengikat secara universal tanpa memperhatikan lingkungan di mana ia diakui dan dipraktekkan. Larangan jangan membunuh  umpamanya, bukanlah sebuah prinsip yang absolut. Suatu saat perilaku membunuh, umpamanya, dapat saja menjadi benar ketika dilakukan untuk mempertahankan diri atau mungkin karena memelihara kehidupan dari orang lain. Oleh karena itu,bagi kaum pragmatis, anak didik harus diajarkan  bagaimana membuat keputusan moral yang sulit yang tidak dengan merujuk pada  prinsip moral yang sudah begitu adanya, tetai dengan memutuskan melalui tindakan yang dapat menghasilkan sesuatu yang baik bagi sejumlah besar umat manusia.s
Semakin kompleks sebuah masyarakat, tuntutan kepada individu pun juga semakin besar. Tetapi kelompok pragmatis menolak konsep individualkisme ini yg mengarah pada eksploitasi dan juga persetujuan social yg menggabungkan individualitas orang. Dewey mengatakan bahwa ikatan individu dan saksi social merupakan sebuah perjanjian  yang bersifat kritis. Masyarakat otopian yang diimpikannya di bangun oleh orang orang yang memiliki keberanian untuk berfikir secara bebas dan namun mengaitkan diri mereka pada kelompok.
Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut. Apa yang dikatakan baik, buruk, cantik, tidak cantik, benar, salah, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap tidak diciptakan oleh manusia melainkan bagian dari manusia. Plato mengatakan bahwa jika manusia tahu apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, maka mereka tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Plato mengatakan bahwa kehidupan yang baik hanya dapat terwujud dalam masyarakat  yang ideal yang diperintah oleh “The Philosopher Kings” yaitu kaum intelektual, para ilmuan atau para



cendikiawan (Sadulloh, 2011: 99). Oleh karena itu diperlukan banyak lembaga pendidikan untuk melahirkan pemimpin yang baik


4)                             Nilai dan Pendidikan dalam islam
            Paling tidak ada dua istilah yg sering di gunakan untuk menyatakan nilai dalam bahasa arab, yaitu fadhillah dan qiimah, yang lasim dipakai dalam kaitannya dengan nilai nilai moral adalah fadhillah, sedangaknan ungkapan qiimah lebih dipakai untuk menyatakan nilai dalam konteks ekonomi dan hal hal yg berkenaan dgn benda materi. Pendidikan sebagai suatu kegiatan mulia dalam islam selalu mengandung nilai nilai kebaikan dan kebajikan bagi kemanusiaan, karena memang aktifitasnya selalu hendak menjadikan manusia sebagai makhluk yg bernilai moral, baik dalam fungsinya sebagai mu abbid, khalifah fi al ardh maupun immarah fi al ardh. Dalam konteks pendidikan islam, nilai nilai moral keagamaan menjadi bagian integral dalam setiap gerak usaha kependidikan yg secara structural formal tdk hanya tercantum dalam tujuan intitusional pendidikan saja, tetapi hendaknya juga terjalin erat dalam setiap denyut nadi aktifitasnya.
Moral/akhlak adalah nilai nilai dan norma norma yg menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral berkenaan dengan kegiatan kegiatan manusia yg di pandang sebagai baik/ buruk, benar/ salah, tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
Nilai dalam konteks islam terbagi kepada dua hal, yaitu yang tetap dan yg tdk tetap. Yang pertama disebut dengan nilai nilai yg wajib yg entitasnya telah di sepakati dan jelas, nilai muthlaq:; sedangakan yang kedua bersifat fleksibel dan lahir dari dinamika mastyarakat, nilai muqayyad.
Sebagai standar perilaku, nilai nilai moral pun membantu subjeknya menentuka pengertian sederhana terhadap suatu jenis perilaku. Dalam pengertian yg lebih kompleks nilai akan membantu subjek moral untuk mengidentifikasi apakah sesuatu perilaku itu perlu atau tidak, apakah ia baik atau buruk serta mendorongnya untuk membuat analisis dalam konteks moral reasoning dari suatu perilaku moral tertentu yang menuju pada penyimpulan penyimpulan sebagai landasan suatu kecenderunganyg akan menjadi sikap yang akan menentukan corak suatu kepribadian. Paling tidak ada tiga unsur yang tidak dapat terlepas dari nilai,yakni;
1.                       Bahwa nilai berhubungan dengan subjek, karena memang suatu nilai lahir dari bagaimana subjek menilai realitas, namun bukan berarti mereduksi keputusannya pada subjektifikasi nilai dan meniadakan hal-hal lain di luar dirinya.Nilai terkait dengan keyakinan seseorang atas sesuatu yang mewajibkan dirinya untuk melestarikannya.
2.                       Bahwa nilai  teraplikasi dalam tindakan praktis, artinya nilai sangat berkaitan dengan aktivitas seseorang. Amal adalah bukti nyata bahwa seseorang telah memiliki nilai.
3.                       Bahwa nilai-nilai bersifat subjektif karena penilaiannya berhubungan dengan sifat-sifat yg di tambah oleh subjek pada sifat-sifat yg di miliki objek. Oleh karena itu adalah lazim jika objek yg sama memiliki nilai yg berbeda di kalangan masyarakat.
Berdasarkan itu pula, terlihat bahwa kesadaran adalah kata kunci bagi perealisasian nilai-nilai,dan oleh karena itu, maka dalam pembelajaran islam, penanaman nilai mestilah pula dengan menumbuhkan  kesadaran kepada subjek didik bahwa suatu nilai berguna bagi realitas kehidupannya,terutama dalam kaitan dirinya dengan alam dan tuhan. Ini berarti, bahwa pendidikan erat kaitannya dengan penyadaraanakan nilai-nilai, sehingga nilai-nilai  kemanusiaan itu benar-benar dapat diujud kan dalam alam realitas manusia.

C.                 Etika dan Pendidikan
              Etika berasala dari bahasa Inggris yang  disebut dengan ethic (singular), dalam bahasa Yunani berarti ethikos              yang mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecendrungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep, seperti harus, mesti, salah, benar. Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berti ethos, tempat tinggal. Asal-usul “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakuka  atau ilmu tentang adat kebiasaan. Artin  inilah yang menjadi latar belakang bagi terbenttuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM).
              Nilai, moral, dan etika, merupakan tiga istilah yg saling terkait yang biasanya dalam bahasa sehari hari dianggap sepadan, baik dalam makna maupun dalam fungsi, pada hal ketiga kata itu memiliki hakikat dan orientasi yg berbeda beda kendatipun antara satu dengan yang lain terkait erat.        
                 Nilai adalah gambaran seseorang tentang sesuatu yang indah dan yang menarik, yang mempesona, yang menakjubkan, yang membuat kita bahagia, senang dan ingin memilikinya.
 Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral berkenaan dengan kegiatan manusia yang di pandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain..Plato sebagai tokoh idealism berprinsip bahwa idea tentang kebaikan memberikan konsekuensi logis pada pengembangan pengetahuan dan oleh karena itu, bangunan pendidikan mestilah diarahkan pada pembentukan hidup yg baik yg tergambar pada prinsip keadilan.Harmonisasi fungsi fungsi jiwa rasio, emosi dan syahwat mestilah menjadi perhatian utama di dalam mengembangkan kepribadian manusia. Dua tipe etika penting disini adalah intuisisme dan naturalisme.Kelompok intuisisme mengatakan bahwa nilai moral di pahami oleh individu secara langsung.Kita menangkap yg benar atau yang salah bagi sesuatu melalui perasaan moral bahwa yang ada pada kita. Nilai moral kita pahami dalam cara seperti ini adalah right in self, kebenaran tidak dapat di buktikan secara logika maupun ketika dites secara empiric. Ia  hanya menjadi persoalan intuisi.
Kaum naturalis berpendapat bahwa nilai moral itu harus ditentukan melalui studi secara hati-hati terhadap konsekuensi yang muncul dari perbuatan tertentu. Umpamanya bila orang meyakini hubungan seks di luar nikah adalah suatu secaa moral, kita memutuskan yang demikian bukan karena keputusan etika yang di buat atas persoalan ini, tetapi sebuah konsekuensi atas observasi seseorang atau studi saintifik tentang efek hubungan seperti ini. Seseorang yang menerima interprestasi pilihan etik yang naturalistic atau menerima nilai moral sesuai dengan hasil penyelidikan saintifik yang menghasilkan perilaku right atau wrong yang telah teruji melalui pengalaman. Tegasnya, kaum naturalistic berpendapat bahwa nilai moral harus di dasari pada pengujian objektif akan konsekuensi praktis dari setiap tindakan perilaku manusia.
Nilai moral itu diajarkan sperti mengajarkan pengetahuan actual? Socrates berusaha menjawab pertanyaan ini. Asuransi bahwa nilai moral itu adalah laten bagi setiap orang, ia menyebutkan bahwa guru dapat membawa nilai kedalam kesadaransubjek didik. Nilai moral seperti kita katakana dapat diajarkan apabila pengajaran nilai moral itu kita artikan membantu subjek didik menjadi sadar akan nilai nilai moral itu.


D.                Estetika dan Pendidikan
John Dewey berpendapat, bahwa seseorangdapat memahami segala sesuatu sesuatu sain  melalui penggunaan intelegensinya, namun hal itu akan lebih mendalam jika ianya disentukan dengan praktik lain, yaitu seni. Bahkan dengan tegas Dewey mengatakan bahwa hanya orang yang menempatkan imaji seni dalam titik focus argumentasinyalah yang akan dapat mengembangkan klaim scientific inquiry. Dengan seni, seseorang akan dapat menekuni apa saja yang dilakukannya dengan rasa senang, bahagia dan penuh semangat, sehingga dengan begitu ia akan dapat memaksimalkan potensinya untuk mencapai apa yang diinginkannya.
             Estetika merupakan studi nilai dalam realitas keindahan.Nilai estetika biasanya sukar untuk di nilai, karena nilai ini menjadi nilai milik personal dan sangat subjektif. Karya seni tertentu umpamanya akan memunculkan banyak respon dari orang yang berbeda. Siapa pun orangnya , jika ia meyakini, bahwa ada nilai estetika yang objektif, tentulah ia dapat menentukan keputusan yang mengarah pada seni yang baik dan diterima pleh banyak orang sebagai sebuah karya yang bernilai seni.
            Walaupun telah sekian abad persoalan penting ini  didiskusikan dalam kajian estetka, haruskah seni dihadirkan kembali? Atau haruskah ia menjadi produk imajinasi penciptanya? Menurut pendapat pertama, seni harus merefleksikan seutuhnya kehidupan dan pengalaman anak manusia.Sementara pandangan kedua akspresi seni itu sendiri secara spontan berhubungan dengan aspek kehidupan yang menarik bagi seniman.Contohnya sebuah gambar tidak pernah menjadi imitasi bagi gambar sebelumnya.Seniman melahirkan keinginan dan pengalaman personalnya.Ia mengekspresikan perasaannya tentang kecantikan dan keburukan dari dunia ini atau boleh jadi menunjukkan bagaiman dunia ini semestinya menurut tatanamnormatif yang di gambarkan. Menurut pandangan ini, seniman menikmati kebebasannya tanpa batas untuk menggunakan mediumnya dalam upaya mengisi kreativitas dirinya.





Menurut kedua pandangan ini, persoalan yang tampil adalah berkaitan tentang apa subjek matters yang lebih baik dan pantas dan apa scope seni itu sendiri. Sebagian orang begpendapat bahwa jika seni itu merupakan ekspresi kehidupan, maka tentulah berkenaan dengan semua aktivitas kehidupan manusia. Sementara yang lain berpendapat bahwa seni itu mesti memerankan fungsi social, karena memang inti aktivitas seni adalah mengajak orang lain turut merasakan apa yang seniman rasakan dan atau apa yang seniman pikirkan. Seniman harus berbicara pada manusia tentang massanya, kendatipun masih ada sekelompok orang yang merasa skeptic akan tanggung jawab social dari seniman. Bagi John Dewey, kehadiran seni itu sendiri menjadi alat bagiakal manusia untuk memandang dunia yang satu dalam kaitannya dengan dunia yang lain. Muhammad Iqbal mengatakan bahwa wujud keindahan adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari cinta kasih semata. Keindahan dapat hilang seiring debngan adanya perubahan cara pandang subjek yang menikmatinya, namunrasa cinta bersifat abadi dan karenanya, rasa cintalah yang dapat memperlihatkanrahasia kehidupan. Keindahantampil dari wujud ekspresi seseorang diri manusia dalam melihat dan melihat sesuatu realitas.













BAB III

PENUTUP


A.                Kesimpulan

   Pengetahuan adalah salah satu kekuatan yang dapat membentuk sejarah peradaban suatu bangsa, dan bahkan kemajuan suatu masyarakat selalu di tandain dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan persekolahan selalu dikatakan memiliki hubungan siknifikan. Hal ini paling tidak disebapkan karena sekolah adalah lembaga tempat memberikan bimbingan,pengarahan, dan pembentukan kepribadian melalui pentransferan ilmu pengetahuan, pembinaan sikap mental, dan keteranpilan kepada subjek didiknya. Yang di bahas di antaranya. Pengertian epistimologi dan pengetahuan, Nilai dan pendidikan, Etika dan pendidikan, Estetika dan pendidkan. Pengetahuan menurut beberapa ahli:  Robert M.Z. Lawang, Menurut Pudjawidjana (1983),
Tipe-tipe pengetahuan
          Pengetahuan wahyu (Reveaload Knowledge)
   Pengetahuan intuitif (Intuitive Knowledg)
          Pengetahuan rasional (Rational Knowledge)
          Pengetahuan Empiris (Empirical Knowledge)
Pengetahuan Otoritatif

B.         Saran
Kamis sadari betul bahwa makalah ini masi jau dari kesempurnaan untuk itu arahan dan bibmbingan mata kulliah filsafat pendidikan masi tetap diharapkan demi untuk penyempurnaanya








DAFTAR PUSTAKA


Rizal Mustansyir M.Hum. Drs Misnal Munir M. Hum. 2001.
Filsafat Ilmu. Cetakan ke-1. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Muhmidayeli. 2011.  filsafat pendidikan. Cetakan ke-1. Bandung: PT Refika Aditama.
Ahmad tafsir. 2004. Filsaft umum. Cetakan ke-1. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar