BAB II
PENGETAHUAN DAN NILAI
A.
.EPISTIMOLOGI DAN PENDIDIKAN
Istilah
“Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti
pengertahuan‘logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata“episteme”
dalam bahasa Yunani berasal kata kerja epistamai, artinya
menundukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harafiah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan
setepatnya. Epistemologi
sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi
membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Ada
beberapa aliran yang berbicara tentang ini. Empirisme, Rasionalisme, Positivisme,
Intuisionisme
Pengetahuan adalah salah satu kekuatan yang dapat
membentuk sejarah peradaban suatu bangsa, dan bahkan kemajuan suatu masyarakat
selalu di tandain dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan persekolahan selalu dikatakan memiliki hubungan
siknifikan. Hal ini paling tidak disebapkan karena sekolah adalah lembaga
tempat memberikan bimbingan,pengarahan, dan pembentukan kepribadian melalui
pentransferan ilmu pengetahuan, pembinaan sikap mental, dan keteranpilan kepada
subjek didiknya. Pengetahuan
menurut beberapa ahli:
·
Robert M.Z. Lawang
Pengetahuan adalah
segala sesuatu yang dialami atau yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
seseorang.
· Menurut Pudjawidjana (1983),
pengetahuan adalah reaksi dari manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar
melalui persentuhan melalui objek dengan indera dan pengetahuan merupakan hasil
yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan sebuah objek tertentu.
· Menurut Ngatimin (1990), pengetahuan
adalah sebagai ingatan atas bahan-bahan yang telah dipelajari dan mungkin ini
menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan yang luas dari hal-hal
yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang diberikan menggunakan ingatan akan
keterangan yang sesuai.
·
Menurut
Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini
setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek
tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telingan.
Dari beberapa pengertian
pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan segala
sesuatu yang diketahui yang diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek
tertentu. Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat,
mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan bersikap dan
bertindak. Partanto Pius dalam kamus
bahasa indonesia (2001) pengetahuan dikaitkan dengan segala sesuatu yang
diketahui berkaitan dengan proses belajar.
1)
Tipe-tipe pengetahuan
a.
Pengetahuan wahyu (Reveaload
Knowledge)
Pengetahuan
wahyu dapat digambarkan sebagai suatu bentuk pengetahuan atas kalam-kalam yang
difirmankan tuhan, sang penguasa alam kepada manusia dalam kemahakuasaan-Nya
melalui perantara para Rasul-Nya. Tuhan menberikan inspirasi pada manusia
tertentu yang disebuat dengan Rasul untuk memberitahukan dan mengajarkan
kebenaran pada manusia, agar apa pun keputusan dan prilaku yang membentuk jati
dirinya benar-benar didasari pada kebenaran yang bersumber pada Tuhan Yang
Mutlak.
Mengingat Pengetahuan
wahyu tidak lain adalah kajian terhadap firman-firman Tuhan yang memiliki
kebenaran sejati yang akan selalu benar,tampa terikat oleh ruang dan waktu,
maka ada yang bepandangan bahwa
kebenarang pengetahuan ini bernilai mutlak karena memeng datang dari
yang Mutlak, pemilik kebenaran sejati. Sedemikian rupa, sehinga eksistensinya
pun tentu akan selalu diterima secara a
priori. Walupun kebenaran Pengetahuan
wahyu itu di anggap sebagai suatu yang suernatural, tetapi ketika pengetahuan
itu disentuhkan dengan pikiran dan bahasa yang menjadi milik manusia, maka
apakah hali ini meniscayakannya
pengetahuan jenis ini akan tetap bernilai mutlak? Persoalan ini kemudian
menjadikan banyak para sarjanawan agama menghabiskan waktu untuk menyuaratkan
arti yang tepat dari kata-kata yang terekspresi dalam teks kitab suci. Hal ini
tidak lain adalah bagaimana menjadikan firman-firman Tuhan termanifestasi dalam
kehidupan nyata sebagai lambang bahwa manusia telah berupaya untuk senantiasa
memperoleh petunjuk dari Sang Pemilik ilmu dan kebenaran sejati
b.
Pengetahuan
intuitif (Intuitive Knowledg)
Jika kebenarang
dalam konteks Pengetahuan
wahyu merupakan suatu kebenaran yang diberikan tuhan dari luar diri manusia, maka Pengetahuan intuitif adalah suatau pengetahuan tentang kebenaran yang dianugerahkan Tuhan
dari dalam diri manusia yang paling dalam yang dalam berbagi variasinnya selalu
melibatkan integritas akal dari hati sebagai dua daya jiwa yang tidak terpisahkan. Pengetahuan
intuitif adalah pengetahuan dimana seseorang mendapatkan di dalam dirinya suatu
peristiwa insight. Insight atau intuisi itu merupakan suatu pritiwa yang datang tiba-tiba dan memeunculkan suatu
ide dan atu kesimpulan yang dihasilkan melalui proses ketidaksadaran individu
yang panjang. Dari kesemua peristiwa
kebetulangini, kita melihat adanya solusi terhadap suatu problem yang tengah
kita hadapi.
Pengetahuan
intuitif merupakan semacama pengetahuan yang diajukan dan diterimana oleh
seseorang berdasarkan kekuatan imajinatif atau pengalaman personal dari pribadi
orang yang mengajukanya. Kebenarannya dapat dilihat seumpama karya seni yang
merupakan bentuk dari pengetahuan intuitif itu. Kecuali itu dapat pula di lihat
dari peristiwa insight dalam diri seseorang yang menjadikan dirinya mampu
melihat sesuatu yang mengkin tidak mengikuti alur berpikir rasional. Ekspresi
tingkah laku pun banyak merupakan wujud dari pengetahuan intuisi ini.
Kita juga
sendiri juga memiliki sebuah bentuk
pengetahuan intuitif yang baik. Pengetahuan yang kita ambil dari pengalaman keseharian kita tentang orang
lain, atau bahkan mungkin dari pengalaman kita tenteng diri kita sendiri. Kita
telah merefleksikan kesemuanya itu secara pasti tetapi kita tidak dapat
menundukkannya pada suatu pemikiran yang sistematis ataupun mengujinya melalui
uji observasi. Kita tidak dapat melakukan yang demikian, karena memang kita tidak butuh itu. Ia merupakan sebuah pengetahuan atau
sebuah kesadaran yang meyakinkan kita melalui perasaan dan kemapuan kita
menghayati kebenarannya karena memang kebenaranys berada dalam pengalaman
subjek pribadi kita.
Paham yang
mengembangkan pengetahuan intuisi ini dapat kita dapati umpamanya pada ajaran filsafat Henri,Bergson
(1859-1941), seseorang filsuf perancis yang berupaya menolak filsafat
positivisme Auguste Comte yang mengajarkan paham empiris tentang
pengetahuan yang lebih ekstrim mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia itu
berada pada ilmu-ilmu positif, yakni suatu pengetahuan yang berangkat dari
fakta-fakta yang terverfikasi dan
terukur secara ketat. Bahkan slogam yang paling terkenal untuk aliran
filsafat ini adalah dari ilmu pengetahuan akan muncul prediksi dan dari
prediksi akan muncul aksi.
c.
Pengetahuan
rasional (Rational Knowledge)
Pengetahuan rasionla merupakan pengetahuan yang
diperoleh yang melalui latihan akal budi dalam mencerna ragam realitas yang
ada dan hal-hal yang mungkin ada, baik melalui dan atau tampa observasi
keadaan-keadaan aktual. Kebenaran pengetahuan
jenis ini dapat ditunjukan melalui upaya mendeskripsikan alasan yang abstrak
dengan menguakan tata logik sebagai
instrumen. Prinsip pengetahuan rasional dapat diterapkan pada pengalaman indera,
tetapi tidak disimpulkan dari pengalaman indera. Ambil prinsip logika bahwa dua
kalimat yang kontradiksi tidaklah dapat benar pada objek dan waktu yang sama.
Contohnya “Fido adalah anjing” dan “Fido bukanlah anjing”. Atau ambil prinsip
jika A lebih besar dari B, B lebih besar dari C, maka A lebih besar dari C.
Contoh yang lain, jika Boeing 747 lebih besar dari pada Flying Fortress, Flying
Fortress lebih besar daripada Piper Cub, maka Boeing 747 lebih besar dari Piper
Cub. Prinsip pengetahuan rasional dapat dipergunakan pada pengalaman indera,
tetapi tidak dapat menarik kesimpulan dari hal tersebut. Tidak seperti
kebenaran intuisi, pengetahuan rasioanal adalah valid ketika tidak mempedulikan
perasaan kita dan kebenaran tersebut valid secara universal.
Data empiris
dalam konteks pengetahuan rasional hanyalah salah satu bentuk pembuktian kebenaran
suatu pengetahuan, bukan satu-satunya sumber yang dapat dijadikan sumber
kebenrang pengetahuan. Sedemikina rupa,
sehinga dapat dikatakan,bahwa pengetahuan rasional adalah jenis
pengetahuan yang membuat relasi realitas teoritik secara menyeluruh dan
terpadau,berdasar kan pada hukum-hukum logika, dan karenanya maka kebenran pengetahuan ini bersifat
hipotesis.
d.
Pengetahuan
Empiris (Empirical Knowledge)
Pengetahuan
empiris merupakan pengetahuan yang diperoleh atas dasar bukti penginderaan,
misalnya dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, merasakan dan sentuhan
indera-indera lainnya sehingga kita memiliki konsep dunia di sekitar kita.
Paradigma dari pengetahuan empiris adalah ilmu pengetahuan modern dimana
hipotesis ilmiah diuji oleh pengamatan atau oleh eksperimen untuk menemukan
hipotesis mana yang paling memuaskan untuk fenomena tertentu. Meskipun
demikian, suatu hipotesis tidak pernah dibuktikan secara mutlak. Hal ini hanya
untuk menunjukkan kemungkinan yang ada. Paradigma empiris juga perlu
menunjukkan bahwa pikiran sehat kita kadang-kadang dapat menipu kita, seperti
ketika suatu tongkat yang sebenarnya lurus ketika didalam air terlihat
dibelokkan. Ketika Socrates bertanya sebelum ia minum racun. "Benarkah
pikiran sehat kita sehat? Apakah mereka akurat?" lebih dari itu, pikiran
sehat kita dikondisikan oleh prasangka. Kita cenderung merasa apakah hal berada
dalam kemampuan kita. Dengan demikian kita merasa berada dalam sebuah ruangan
dengan latar belakang permanent yang mana kejadian yang unik terjadi pada saat
berurutan. Pengertian ruang dan waktu adalah hampir bisa dipastikan suatu
peristiwa dari kultur kita pada suatu langkah tertentu dalam pengembangannya.
e.
Pengetahuan
Otoritatif
Pengetahuan Otoritatif adalah suatu pengetahuan
dianggap baik dan benar bukanlah karna kita telah membuktikannya sendiri
sebagai suatu yang benar, tetapi lebi dikarenakan oleh bukti-bukti yang di
proleh melalui otoritas para ahli dalam bidangnya. Saya menerima tampa
ragu-rag, bahwa Jakrta adalah ibu kota Negara Indonesia, bahwa bahasanya adalah
juga bahasa Indonesia. Saya menerima bahwa 1 km sama dengan 1000 m dan lain
sebagainya hanya berdasarkan imformasi
dari bahan-bahan bacaan dan laporan-laporan penelitian yang dilakukan oleh
oranga-orang yang memiliki otoritas
untuk itu. Hal ini dikarenakan kita percaya tampa ada keraguan bahwa apa yang kita dapati adalah benar karena karena dikatakan oleh oranga-orang yang
memiliki otoritas tentang itu. Sehinga kita pun menerima begitu saja tampa perlu lagi mengadakan penyelididkana- penyelididkana
ilmiah.
Pengetahuan Otoritatif merupakan pengetahuan yang
telah diestablishkan dan diterimana pada otoritas seseorang. Ketika imformasi pengetahuan datang dari
seseorang yang mempunyai otoritas keilmuan dalam bidang yang dicari, mka dengan
spontan akan di percayai dan dianggap
sebagai suatu kebenaran, sehingga tidak
memerlukan pengujian ulang ataupun mempertanyakan keabsahannya.
2)
Epistemologi
Idealisme tentang Pendidikan
Tokoh utama aliran
idealismae ini adalah Plato (427-374) dengan ajaran
filosofinya yang fundamental dengan mengatakan bahwa suatu yang riil adalah
sesuatu yang berada di ruang idea. Menurunya,idea merupakan gambaran jelas
tentang dunia realita yang ditangkap oleh panca indera manusia. Bagi aliran ini,
idea itu sendiri bersipat tetap, tidak mengalami prubahan dan pergeseran. Apa
yang terlihat oleh kita sebagai suatu
yang mengalami prubahan atau pergerakan sesunguhnya hanyalah karena ketidak sempurnaan dunia idea dalam penampakkan dirinya di dunia.
Idealisme
berkeyakinan, bahwa apa yang tampak dalam alam realitas bukanlah merupakan
sesuatu yang riil, tetapi lebih merupakan bayangan atas apa yang bersemayan
dalam alam pikiran manusia yang tidak lain merupakan ekspresi jiwa piki manusia
dalam merumuskan dunia ideanya ke alam
materi. Menurutnya realitas kebenaran dan kebaikansebagai ”idea” telah dibawa
manusia sejak dilahirkan, dan karenanya bersifat tetap dan abadi. Sedemikian
rupa, sehinga ajaran poko filsafat yang
dibawa idealisme lebih mengagungkan jiwa dari badan.
Tokoh-tokoh
lain yang disebut-sebut sebagi pembangun aliran ini antara lain adalah: Hegal, Imanuel Kant, David Hume, Al Ghasali.
Di dalam teradisi filsuf idealisme yang berbeda-beda telah pula melahirkan
teori pengetahuan yang berbeda -beda pula. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran
dari dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang di maksud dengans idea adalah hakikat
murni dan asli yang memiliki watak tetap
dan konstan. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak,
tidak bisa dijangkau oleh dunia material. Pada kenyataanya, idea digambarkan
dengan dunia yang tidak berbentuk. Demikian juga jiwa yang bertempat di dalam
dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Ajaran yang menjadi karakteristik
idealisme adalah seperti apa yang banyak dibicarakan oleh Plato sebagai bapak idealisme itu sendiri adalah teorinya tentang
forma dan keabadian jiwa seseorang. Ajarannya tentang forma ini mengacu pada
pengetahuan tentang suatu benda yang tidak berada di dunia empiris, tetapi
lebih merupakan eidos yang bersifat abadi, dan konstan yang telah dibawa
manusia sejak ia muncul ke dunia.
Kaum idealis meyakini, bahwa
pengetahuan sesungguhnya adalah produk akal an sich. Akal baginya merupakan
kemampuan seseorang dalam melihat secara tajam bentuk-bentuk spritual murni
dari sesuatu yang melampaui bentuk materialnya. Pengetahuan indra tidak akan
dapat menjadi pengetahuan yang sebenarnya tanpa membiarkan akalnya bekerja
untuk menyusun pengetahuan yang memadai tentang apa yang ia lihat. Sedemikian
rupa, sehingga kaum idealis pun percaya bahwa apa pun yang tampak secara nyata
dan ditangkap sebagai suatu kebenaran oleh indra manusia tidak lain adalah
pantulan nyata dari apa yang sesungguhnya ada dan dirumuskan dalam dunia idea
manusia yang ada bersamaan dengan adanya manusia di dunia. Konsep platonik ini
kemudian dielaborasi secara metodologis oleh Hegel dengan mengatakan, bahwa pengetahuan itu hanya valid
sepanjang pengetahuan itu membentuk sebuah sistem. Hal ini mengingat bahwa
realitas yang sesungguhnya tidak lain adalah bersifat rasional dan sistematis.
Berdasarkan tesis ini pula, selanjutnya Hegel dengan tegas mengatakan, bahwa
pengetahuan kita tentang realitas adalah benar jika sesuai dengan sistematika
rasio kita untuk itu. Semakin komprehensif sistem pengetahuan kita dan semakin
konsisten ide-ide yang melingkupi tentang pengetahuan itu, maka dapat dikatakan
pengetahuan itu semakin benar. Ajaran idealisme tentang antologi ilmu-ilmu
menjadi dasar bagi pengembangan teori pendidikannya.Teori pendidikan Plato sebagai tokoh penting dalam
idealisme mengarahkan perhatiannya pada empat fakta utama, yaitu:
1)
Ajarannya yang berkenaan dengan jiwa dan
segala unsur yang menyangkut kesemua varian personaliti manusia.
2)
Ajaran pokoknya tentang masyarakat.
3)
Asjaran filsafatnya tentang hubungan
individu dan masyarakat.
4)
Pendasaran pendidikan pada hal-hal
sebelumnya.
Dalam ajaran filsafat idealisme,
pengetahuan merupakan suatu bagian dari pemikiran manusia yang dikategorisasikan
melalui alam objektif yang ditangkap melalui indra manusia. Oleh karena itu,
objek pengetahuan mestilah melalui idea-idea yang keseluruhan koneksitasnya
bersifat sistematis.
Menurut Plato, pengetahuan adalah suatukeadaan yang berhubungan dengan
pikiran individu yang ditandai dengan suatu kepastian seperti yang ditunjukkan
oleh alam dan objek-objeknya. Bagi Plato, dunia observasi adalah suatu sistem
komperhensif dari dunia ide yang akan menjelaskan dunia itu. Hasil pandangan
inilah yang secara nyata membawa perubahan
bagi dunia partikular. Pengetahuan dalam bentuk ini adalah ketika
imaji-imaji ide membatasi lingkupnya san menghubung-hubungkan bahagian yang
satu dengan yang lainnya sehingga ia masuk pada dunia nyata yang diobservasi
lewat indra.
Berdasarkan ini semua, maka akhirnya Plato menyimpulkan bahwa pengatahuan
berada dalam dua tingkatan, yaitu hipotesis dan kepastian absolut. Plato
berpendapat, bahwa pengetahuan adalah kesadaran dunia idea manusia bahwa
pengetahuan yang diajukan dan kesadarannya memiliki hubungan sistematis dengan
keseluruhan idenya tentang kebaikan yang mutlak sebagai prinsip tertinggi dalam
kehidupan manusia. Dalam bukunya Republic, Plato
menulis bahwa teori tentang forma mana pun baru bisa dibenarkan, jika argumennya
koheren dengan prinsip kebaikan tertinggi yang disebutnya dengan “The
Beautiful” (Yang Indah). “Yang Indah” ini merupakan sumber dari segala eidos.
Ia adlah sumber segala pengetahuan manusia dan kebenaran.
Plato
dalam hal ini menempatkan konsep the idea of the good ini sebagai orientasi
pendidikan dan menjadi sesuatu yang sangat penting dan strategis dalam
mengembangkan konsep dasarnya tentang pendidikan. Ajaran filsafat Plato tentang
idea ini memberikan keyakinan bahwa idea dapat meningkatkan kemampuan rasio
manusia.
Secara implisit terlihat, Plato
cenderung untuk mengatakan bahwa belajar bukanlah didassarkan pada pengetahuan
empiris, tetapi hendaklah melalui pembinaan rasio. Kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri adalah bahwa rasio manusia adalah sesuatu yang laten dalam
tahun-tahun pertama kehidupan manusia dan bahkan selama perjalanan kehidupan
manusia di dunia. Oleh karena itu, bagi idealisme, pembinaan rasio merupakan
tugas utama dan pertama dalam dunia pendidikan. Hal ini penting mengigat aspek
kematangan rasio ini merupakan titik tolak beragam aktivitas intelek manusia
seperti aspek imajinasi, kreativitas, inisiatif pengetahuan, dan bahkan semua
aktivitas yang bermuara pada lahirnya beragam inovasi dalam keseluruhan ini
kehidupan tidak dapat terhindar dari kematangannya. Hampir semua kelompok
idealisme termasuk Immanuel Kant
sebagai tokoh yang dianggap sebagai puncak idealisme di jerman menyebutkan,
bahwa esensi pengetahuan adalah imposisi maknawi dan bentuk yang dikumpulkan
melalui imformasi yang diambil melalui indrawi. Bagi mereka, inti pendidikan
terletak pada pengajaran dan pelatihan, terutama yang diperlihatkan melalui
contoh-contoh yang diberikan oleh orang dewasa terhadap subjek didiknya. Dalam
ajaran filsafat idealisme dikatakan, bahwa tujuan mengajar bukanlah
sekedar menghadirkan sebanyak-banyaknya imformasiatau pengetahuan kepada subjek
didik yang dapat membantunya memahami bentuk dan arti tentang hal itu. Beberapa
kaum idealisme yang dikenal sebagai kaum personalis menyebutkan bahwa subjek
didik mesti diarahkan agar mampu mengaitkan imformasi yang diberikan pada pengalaman
yang mereka miliki sebelumnya sehingga apa yang mereka pelajari memiliki arti
baginya secara personal.
Plato
sebagai tokoh idealisme ternama berpendapat bahwa belajar tidak dapat dimaknai
hanya dalam pengertian pemberian pengetahuan seluas-luasnya kepada subjek
didik. Bagi Plato, perkembangan
normal belajar anak manusia selalu diawali dengan penyempurnaan wilayah
persepsi, terus melalui konveksi dan pemahaman maka akan diperoleh pemenuhan
aktivitas akal. Plato berpandangan bahwa semua orang dapat membentuk pemahaman
yang benar tentang dunia dan moral. Oleh karena itu belajar mestilah juga
dipahami sebagai pembiasaan dan pelatihan. Semua manusia memiliki kemampuan
untuk mencapai nilai moral, karena memang ia lahir untuk merealisasikan nilai
moral itu.
3. Epistemologi
Realisme tentang Pendidikan
Realisme
merupakan filsafat yang memandang bahwaa suatu yang riil adalah sesuau yang
bersifat fisik dan psikis. Beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai pendukung
aliran ini antara lain: Ariestoteles,
John Amos Comenius, Francis bacon, John Locke, Galileo, David Hume, dan John Stuart Mill.
Realisme melihat adanya hubungan
dealektik antara subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak namun di
pihak lain ada realitas yang lain yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu
yang dijadikan objek pengetahuan. Suatu pengetahuan dapat dikatakan benar
apabila ada kesesuaian dengan dunia faktual, dapat diamati, dan bersifat
substansif. Aliran realis menekankan, bahwa sesuatu itu dikatakan benar jika
memang tiil dan secara nyata memang ada.
Realisme membagi realitas menjadi dua
bagian, yaitu subjek sebagai realitas yang menyadari dan mengetahui di satu
sisi, dan realitas yang berada di luar diri manusia yang dapat dijadikan objek
pengetahuan di sissi lainnya.
Kaum realisme menolak pandangan
kelompok idealisme yang mengatakan, bahwa fikiran manusia dimuati oleh
kategori-kategorinnya, seperti substansialitas dan kausalitas tentang data
indrawi seperti yang diterangkan ia atas. Kaum realisme berkeyakinan, bahwa dunia
yang kita terima ini bukanlah sebuah dunia yang kita ciptakan kembali secara
mental, tetapi merupakan sebuah dunia apa adanya. Substansialitas, kausalitas,
dan bentuk-bentuk alam bukanlah semacam proyeksi dan pikiran, tetapi lebih
merupakan segi-segi dari benda-benda itu sendiri. Sains natural mengembangkan
sebuah gambaran yang berbeda tentang dunia dari pengalaman keseharian kita.
Bagi kelompok realis, ide atau
proposisi adalah benar ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia
riil. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat dikatakan diterima sebagai
suatu kebenaran semata-mata hanya karena ia koheren dengan pengetahuan kita.
Jika pengetahuan baru itu berhubungan dengan yang lama, maka hal itu hanya
lantaran “yang lama” itu memang benar, yaitu disebabkan pengetahuan lama
koresponden dengan apa yang terjadi dengan kasus itu. Interaksi rasio manusia
dengan alam natural tidak akan mempengaruhi sifat dasar manusia. Dan karenanya
koherensi tidak melahirkan kebenaran. Ketika dua atau lebih teori tentang
keterkaitan segi-segi dunia berhubungan pada segi-segi yang mereka gambarkan,
maka secara natural mereka pun secara nyata akan mendukung satu dengan lainnya.
Realisme yakin bahwa pengetahuan
selalu dihasilkan dari proses pengamatan, pemikiran, dan kesimpulan dari
kemampuan manusia sebagai subjek dalam menyerap dunia objek. Dengan demikian
pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia
sebagaimana adanya. Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah menempatkan
sejumlah pengetahuan yang kebenarannya telah dikonfirmasi secara
berulang-ulang. Oleh karena itu, epistemologi pendidikan dalam filsafat
realisme adalah proses ilmiah yang ditujukan pada hal-hal yang berkenaan dengan
ragam persoalan pendidikan seperti mengenai realitas peserta didik, pendidik,
isi pendidikan, strategi dan lain sebagainya yang dapat digunakan oleh
seseorang atau sekelompok orang sebagai dasar utama dalam menyelenggarakan
kegiatan pendidikan.
Realisme mengajarkan bahwa menanamkan
pengetahuan tertentu kepada anak yang sedang tumbuh dan berkembang merupakan
tugas paling pentingdi sekolah. Oleh karena itu, inisiatif dalam dunia
pendidikan terletak pada guru sebagai pengalihan warisan budaya bukan pada
siswa. Guru yang mesti memutuskan ke arah mana subjek didik mau diarahkan dan
apa saja subjek matters yang mesti mereka pelajari di kelas. Jika subjek
matters ini dapat dibuat untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan personal anak
dalam masyarakat, maka ianya semakin baik. Tetapi memuaskaan siswa secara
personal jauh kurang penting dari pada menanamkan subjek matters yang benar.
Mengajarkan pengetahuan pada siswa merupakan tujuan yang sesungguhnya dalam
pendidikan.
Aliran realisme dan konteks ini
meyakini, bahwa memuaskan subyek didik hanyalah sebagai instrumen untuk perahian
tujuan pendidikan, bukan sebagaai fokus aktivitas pembelajaran. Hal ini
diperlukan dalam implementasi setiap strategi pembelajaran yang telah
ditetapkan guru sebagai langkah penting dalam mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Epistemologi realisme tentang
pendidikan seperti dikemukakan di depan meniscayakan bahwa setiap proses
pembelajaran mesti didekati dengan pendekatan induktif, bukan deduktif.
Pendekatan ini baginya adalah cara yang relevan untuk menanamkan pengetahuan
dan nilai ke dalam diri subjek didik. Baginya, hal ini sejalan dengan watak
manusia dalam memperoleh pengetahuan yang memang bersentuhan dengan sendi-sendi
dunia yang secara nyata berhubungan satu dengan yang lainnya.
4. Epistemologi
Pragmatisme tentang Pendidikan
Kaum pragmatisme meyakini bahwa
pikiran manusia bersifat aktif dan berhubungan langsung dengan upaya
penyelidikan dan penemuan. Pikiran manusia tidak mengonfrontasikan dunia yang
ia terpisah dari aktivitas penyelidikan dan penemuan itu. Pengetahuan dunia
dibentuk melalui pikiran subjek yang mengetahuinya. Kebenaran tidak tergantung
pada korespondensi ide manusi dengan realitas eksternal, karena realitas bagi
manusia tergantung pada bagian dalam ide yang menjelaskannya. Pengetahuan
adalah produk transaksi antara manusia dan lingkungannya dan kebenaran adalah
suatu proferti bagi pengetahuan. Lantas.
Kelompok pragmatisme mengklaim bahwa
suatu ide dikatakan benar jika ia benar-benar bisa diterapkan. Hanya William James yang menyebutkan, bahwa
ide itu dikatakan benar jika memberikan konsekuensi bernilai dan atau
fungsional bagi personnya. Sedangkan Peirce
dan Jhon Dewey memberikan klaim
bahwa suatu ide itu dikatakan benar hanya jika memiliki konsekuensi yang
memuaskan ketika secara objektif dan saintifik ide itu dapat dipraktikkan secara memuaskan. Jadi, kaum pragmatisme
memandang kebenaran suatu ide tergantung pada konsekuensi yang muncul ketika
ide itu dioperasikan di alam empiris.
John
Dewey menyebutkan, bahwa pikiran manusia bukanlah suatu yang ultimate dan
absolut, tetapi lebih merupakan suatu bentuk proses alamiah di mana ia muncul
sebagai hasil dari hubungan aktif antara organisme yang hidup dengan
lingkungannya. Pikiran manusia selalu berawal dari dunia pengalaman dan untuk
akan kembali ke dunia pengalaman. Ada
hubungan interdependensi antara fikiran dan pengalaman empiris yang
meniscayakan perubahan-perubahan. Tidaklah dikatakan pengetahuan jika tidak
membawa pada perubahan bagi kehidupan manusia. Jadi, nilai pengetahuan dilihat
dari kadar instrumentalisnya yang akan smembawa pada akibat-akibat baik yang
telah atau yang akan dihasilkan oleh ide pikiran dalam dunia pengalaman nyata.
Pragmatisme juga mengatakan bahwa
method of intellegence merupakan carayang ideal untuk mendapatkan pengetahuan.
Kita menangkap sesuatu yang terbaik menurut kaum pragmatis mestilah melalui
melokalisasi problem sedemikian rupa dan memecahkannya. Menghadapi sebuah
problem, intellegence mengajukan hipotesis tentang problem itu. Hipotesis sebagai
suatu kesimpulan yang diajukan untuk memecahkan suatu problem, secara sukses
merupakan hipotesis yang menjelaskan fakta-fakta dari problem itu. John Dewey mengklaim, bahwaa dalam
proses pengetahuan diperlukan adanya konsep yang dikonfirmasi
secara
objektif dan operasional dan dapat bekerja sebagai dasar bagi pengaturan
hipotesis yang diajukan yang selanjutnya akan menjadi bahan pertimbangan untuk
pemecahan problem berikutnya.
5. Epistemologi
Islam tentang Pendidikan
Islam secara nyata membedakan antara
`ilm dan ma`rifah. Dua istilah ini memberikan pemaknaan tersendiri bagi
pengetahuan islam. Kata `ilm lebih ditujukan untuk memaknai suatu pengetahuan
yang didasarkan pada nilai-nilai
objektif empiris, maka kata ma`rifah lebih diaksentuasikan pada pengetahuan
yang bermuara pada yang Transenden, Tuhan.
Kendatipun al-Tusi dan al-juwaini
memaknai istilah `ilm dan ma`rifah ini dalam bentuk padanan yang sama, Raghib al-isfahani dalam hal ini
justru memberikan pengertian yang berbeda. Jika kata `ilm memberikan penekanaan
pemahaman pada persoalan ilmu fisika, maka kata ma`rifah lebih diarahkan untuk
menunjukkan pengetahuan-pengetahuan yang bermuara pada nilai-nilai transendal.
Kata ma`rifah lebih ditujukan dalam
wacana teologi pengetahuan tentang Allah SWT, sedangkan kata `ilm menunjuk
segala sesuatu dalam konteks objektif-empiris yang lebih ditujukan pada aspek
metodologis dan aksiologi dari pada aspek ontologis-metafisis.
Pemaknaan `ilm yang disamakan dengan
ma`rifah, memaknai istilah ilmu lebih pada sisi ontologis-metafisis dari pada
aksiologis-etis. Kendatipun demikian, mesti pula diakui bahwa dalam
implementasi ilmu ini nantinya tentu tidak dapat dilepaskan dari nilai etis-relijius
yang humanis. Ilmu pengetahuan yang dipahami oleh al-Tusi dan al-Juwaini
dalam konteks ini adalah pengetahuan tentang dunia objek yang diketahui
sebagaimana adanya. Pemaknaan pengetahuan sedemikian memiliki implikasi pada
bidang pendidikan yang juga diorientasikan pada refleksi nilai-nilai ilahiah
dan bagaimana pendidikan memberikan pemeliharaan dan penyempurnaan nilai-nilai
insaniyah yang berdimensi moral agar ia selalu berada pada dimensinya yang
fitri sesuai dengan misi pengutusan Rasul yang tidak lain adalah penyempurnaan
nilai-nilai moral di dunia.
Mengingat
ibadah dalam islam selalu dikaitkan dengan aktivitas berpikir dan memang
berpikir adalah perintah ilahi agar manusia bisa beriman, maka meniscayakan
pengetahuan rasional di dalam proses kependidikan islam berorientasi pada
nilai-nilai ketuhanan. Pengetahuan rasional dalam islam bukan melulu akal dan
bukan melulu indrawi, tetapi ada jalinan.
Islam memberikan keyakinan bahwa
pembentukan engetahuan erat kaitanya
dengan penciptaan hubungan manusia, alam, dan tuhan dalam siklus yang tidak terputus.
B.
Nilai dan
pendidikan
Nilai
adalah gambaran tentang seuatu yang indah dan menarik, yang mempesona, yang
menakjutkan, yang membuat kita bahagia, senag dan merupakan sesuatu yang
menjadikan seseorang atu kelompok orang yang ingin memilikinya.
Nilai itu tersebar di setiap sudut wilaya pendidikan. Nilai itu mencakup
setiap aspek praktik sekolah. Nilai itu merupakan dasar bagi sebuah peroalan
pilihan dan pembuatan keputu. Mengunakan nilai, guru mengevaluasi
siswa dan siswa mengevaluasi guru. Masyarakat mengepvaluasi perjalanan studi
program sekolah dan bahkan kompetensi guru. Sebaliknya, masyarakat itu sendiri dievaluasi oleh guru. Ketika
kita membuat suatu keputusan tentang
praktik pendidikan, ketika kita meramalkan segi-segi kebijakan pendidikan,
pertanyaanya adalah apa jenis nilai yang
kita terapkan.
Pada dasarnya nilai memiliki
pengertian yang luas, sehinga selalu urainnya dalam beragam makna. Nilai dapat diartikan dalm makna benar dan
salah, aik dan buruk, manfaat atau
berguna, indah atau jelek, dan lain sebagainya. Kualitas nilai biasanya
terlihat terlihat pada rasa puasnya seseorang dalm melihat hasil karyanya.
Seseorang akan merasa bahagia jika telah
berbuat yang benar dan merasa gelisah
jika tidak dapat merealisasikan apa yang
dianggapnya benar. Seseorang akan merasa
bermakna dalam hidupnya jika ia telah dapat mewujutkan kebaikan tertiggi dalam
hidupnya. Oleh karena itu, istilah nilai selalu dihubungkan pada penujukan
kualitas seseuatu benda ataupun perilaku dalam berbagi realitas. Studi umum tentang nilai, dikenal dengan
aksiologi.
Sebagian orang berpendapat, bahwa
nilai itu adalah absolut dan abadi. Nilai-nilai ini merupakan sesuatu yang valid hari ini adalah juga valid pada masa
lalu dan juga valit untuk setiap
orang tampa memperhatikan ras dan kelas sosial.
1)
Nilai dan Pendidikan Menurut Aliran Idealisme
Seperti telah
diuraikan diatas, kaum idealisme dengan pahamnya bahwa sommum bonum (ide
kekuatan tertinggi) kehidupan manusia sesungguhnya telah ada bersamaan dengan
kemunculan dirinya ke dunia, menjadikan,
bahwa nilai apa pun selalu brsifat tetap dan tidak berubah-ubah, absolut.
Nilai-nilai kebaikan dan kebijakan; yang
benar dan yang cantik sesungguhnya tidak akan berubah secara fundamental suatu
generas kegenerasi ke generasi berikutnya, dari masyarakat yang satu ke
masyarakat berikutnya.
Idealisme
percaya bahwa nilai sesungguhnya bukanlah produk dari manusia, tetapi lebih
merupakan bahagian dari alam jagad raya. Sedemikian rupa maka aliran ini pun
mengakui bahwa apa yang di katakan baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek,
bahagia-sensara. Oleh karena itu, tugas manusia adalah bagaiman agar nilai-nilai
kebaikan itu teraplikasi dalam konteks realitas aktivitas di dunia.
Dengan tegas Plato mengatakan bahwa kehidupan yang
baik hanya terdapat dalam masyarakat yang baik. Dalam buku republic-nya ia menguraikan masyarakat yang ideal yang di atur oleh
elit-elit raja yang filsuf dan berakhlak mulia. Hegel dengan hal ini juga
menyebut bahwa individu mengambil pemahaman
dan praktik moralnya dari negara bertatana nilai moral.
Para tokoh utama
idealisme ini sepakat bahwa perwujudan nilai-nilai kebaikan dan kebijakan yang
telah dibawa manusia sejak lahir sangat tergantung pada tatanan kehidupan dalam
masyarakat.
2)
Nilai dan
Pendidikan Menurut Aliran Realisme
Ralisme sependapat dengan idealisme
yang menyatakan bahwa nilai fundamental dalam diri manusia bersifat permanen dan
absolut, namun masing-masing mereka berbeda dalam argumentasi. Jika idealisme berpendirian
bahwa absolutisme nilai hanya karena
memang ia bukan produksi manusia tetapi bahagian dari alam jakat raya dan dibawa manusia sejak di
lahirkan ke dunia, maka realisme melihat absolutisme nilai semata-mata karena
akal yang dianugerahkan kepada manusia mampu menpuh ruang nilai yang ditentukan
tuhan
Realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal
yang terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya
terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta menunjukkan, suatu meja tetap
sebagaimana adanya, kendati tidak ada orang di dalam ruangan itu yang
menangkapnya. Jadi meja itu tidak tergantung kepada gagasan kita mengenainya, tetapi tergantung pada meja
tersebut.
Kelompok realisme sependapat dengan
kelompok idealis bahwa nilai fundanental bersifat permanen, tetapi mereka
berbeda pendapat di dalam alasan untuk
menyatakan hal itu. Kelompok realisme klasik sependpat dengan Aristoteles bahwa
ada hukum-hukum moral yang universalyang mengikat manusia sebagai makhluk
rasional. Kaum realisme relejius berpendapat bahwa kita dapat memahami banyak
hal dari hukum-hukum moral universal ini telah ditetapkan oleh Tuhan yang telah
menganugerahi kita dengan akal untuk dapt memahami hukum-hukum moral Tuhan
tersebut.
Kelompok realisme menyatakan bahwa
etika naturalistic tidaklah cocok, karena manusia diciptakan untuk melampaui
yang natural dan mencapai yang supernatural.Tujuan sesungguhnya dari pendidikan
moral adalah penyerahan jiwa pada tuhan.Oleh karena itu subjek didik harus
diajar menjaga jiwanya dalam keadaan yg baik, yakni dengan mengisinya dengan
kebesaran tuhan dan terlepas dari dosa besar.Subjek didik harus mengupayakan yg
baik dan menghindari yg jahat, tidak karena akal yg melarangnya tetapi juga
karena memang tuhan tidak menghendaki hal itu.Kelompok realis yang relijius ini
menempatkan manusia seperti intelegnya.Bagi kelompok filsafat ini, walaupun
tuhan mengajak penyerahan diri, namun individu tetap bertugas untuk memutuskan
apakah menerima atau menolaknya.Dengan demikian, keinginan harus di biasakan
untuk membuat pilihan pilihan nilai yang benar.Bagi realism realijius ini,
manusia dapat dirusak oleh kecenderungan dirinya pada yang tidak baik, maka
baginya, pendidikan secara essensial memiliki peranan korektif untuk kondisi
ini. Dalam konteks ini, memperkuat disiplin dibutuhkan untuk mengiliminasi
kebiasaan yang buruk dan mengembang
kebiasaan yang baik dalam diri individu. Kendatipun akan tidak
memiliki otoritas, namun
sesungguhnya pemahaman yang
sempurna tentang hakikat
sesuatu terletak pada
kekuatan akal ini. Dan kita mesti mendalami
keyakinan yang dapat membawa
kita ke sana.
Akal mesti menyokong
keyakinan karena tuhan
telah memberikannya kepada
kita sehingga kita
dapat mengenalnya lebih
baik.
Berbeda
dengan aliran realisme relijius,
kelompok realisme saintifik
justru mengajarkan bahwa sesuatu yang benar dan yg salah adalah produksi
akal manusia dalam memahami suatu realitas, bukan dan prinsip prinsip agama.
Oleh karena itu, nilai moral pun harus di dasari pada prinsip prinsip
penelitian ilmiah yang telah menunjukkan kemanfaatannya kepada manusia sebagai
makhluk yang paling tinggi Penyakit adalah sesuatu yg tidak diharapkan, karena
memang ia tdk baik. Kesehatan adalah sesuatu yg diharapkan dan disukai semua
orang, karena sifatnya baik. Kita mesti meningkatkan dengan ukuran meningkatnya
konstitusi genetik kita dan menundukkan
hal hal yg tdk diinginkan dengan upaya meningkatkan lingkungan di
mana kita hidup.
Jadi, dapat di pahami
bahwa nilai moral selalu muncul
dari upaya penyelidikan seseorang
akan nilai kebenarannya
dan karenanya dapat
dibuktikan secara ilmiah.
3)
Nilai
dan Pendidikan Menurut Aliran Pragmatism
Bagi
kelompok pragmatis nilai itu bersifat relatif. Etik dan aturan-aturan moral
tidak permanen tetapi tampil karena perubahan budaya dan masyarakat. Ini tidak
menunjukkan bahwa nilai-nilai moral itu
bersifat fluktuatif dari masa kemasa.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada perintah tertentu yang dianggap sebagai
pengikat secara universal tanpa memperhatikan lingkungan di mana ia diakui dan
dipraktekkan. Larangan jangan membunuh
umpamanya, bukanlah sebuah prinsip yang absolut. Suatu saat perilaku
membunuh, umpamanya, dapat saja menjadi benar ketika dilakukan untuk
mempertahankan diri atau mungkin karena memelihara kehidupan dari orang lain.
Oleh karena itu,bagi kaum pragmatis, anak didik harus diajarkan bagaimana membuat keputusan moral yang sulit
yang tidak dengan merujuk pada prinsip
moral yang sudah begitu adanya, tetai dengan memutuskan melalui tindakan yang
dapat menghasilkan sesuatu yang baik bagi sejumlah besar umat manusia.s
Semakin
kompleks sebuah masyarakat, tuntutan kepada individu pun juga semakin besar. Tetapi
kelompok pragmatis menolak konsep individualkisme ini yg mengarah pada
eksploitasi dan juga persetujuan social yg menggabungkan individualitas orang. Dewey mengatakan bahwa ikatan individu
dan saksi social merupakan sebuah perjanjian
yang bersifat kritis. Masyarakat otopian yang diimpikannya di bangun
oleh orang orang yang memiliki keberanian untuk berfikir secara bebas dan namun
mengaitkan diri mereka pada kelompok.
Menurut pandangan idealisme, nilai
itu absolut. Apa yang dikatakan baik, buruk, cantik, tidak cantik, benar,
salah, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada
hakikatnya nilai itu tetap tidak diciptakan oleh manusia melainkan bagian dari
manusia. Plato mengatakan bahwa jika
manusia tahu apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, maka mereka tidak akan
berbuat hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Plato mengatakan
bahwa kehidupan yang baik hanya dapat terwujud dalam masyarakat yang ideal yang diperintah oleh “The Philosopher Kings” yaitu kaum
intelektual, para ilmuan atau para
cendikiawan (Sadulloh, 2011: 99).
Oleh karena itu diperlukan banyak lembaga pendidikan untuk melahirkan pemimpin
yang baik
4)
Nilai dan Pendidikan dalam islam
Paling
tidak ada dua istilah yg sering di gunakan untuk menyatakan nilai dalam bahasa
arab, yaitu fadhillah dan qiimah, yang lasim dipakai dalam
kaitannya dengan nilai nilai moral adalah fadhillah,
sedangaknan ungkapan qiimah lebih
dipakai untuk menyatakan nilai dalam konteks ekonomi dan hal hal yg berkenaan
dgn benda materi. Pendidikan sebagai suatu kegiatan mulia dalam islam selalu
mengandung nilai nilai kebaikan dan kebajikan bagi kemanusiaan, karena memang
aktifitasnya selalu hendak menjadikan manusia sebagai makhluk yg bernilai
moral, baik dalam fungsinya sebagai mu
abbid, khalifah fi al ardh maupun
immarah fi al ardh. Dalam konteks pendidikan islam, nilai nilai moral
keagamaan menjadi bagian integral dalam setiap gerak usaha kependidikan yg
secara structural formal tdk hanya tercantum dalam tujuan intitusional
pendidikan saja, tetapi hendaknya juga terjalin erat dalam setiap denyut nadi
aktifitasnya.
Moral/akhlak
adalah nilai nilai dan norma norma yg menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral berkenaan dengan kegiatan
kegiatan manusia yg di pandang sebagai baik/ buruk, benar/ salah, tepat/tidak
tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan
orang lain.
Nilai
dalam konteks islam terbagi kepada dua hal, yaitu yang tetap dan yg tdk tetap.
Yang pertama disebut dengan nilai nilai yg wajib yg entitasnya telah di
sepakati dan jelas, nilai muthlaq:;
sedangakan yang kedua bersifat fleksibel dan lahir dari dinamika mastyarakat,
nilai muqayyad.
Sebagai
standar perilaku, nilai nilai moral pun membantu subjeknya menentuka pengertian
sederhana terhadap suatu jenis perilaku. Dalam pengertian yg lebih kompleks
nilai akan membantu subjek moral untuk mengidentifikasi apakah sesuatu perilaku
itu perlu atau tidak, apakah ia baik atau buruk serta mendorongnya untuk
membuat analisis dalam konteks moral reasoning dari suatu perilaku moral
tertentu yang menuju pada penyimpulan penyimpulan sebagai landasan suatu
kecenderunganyg akan menjadi sikap yang akan menentukan corak suatu
kepribadian. Paling tidak ada tiga unsur yang tidak dapat terlepas dari
nilai,yakni;
1.
Bahwa nilai berhubungan dengan subjek,
karena memang suatu nilai lahir dari bagaimana subjek menilai realitas, namun
bukan berarti mereduksi keputusannya pada subjektifikasi nilai dan meniadakan
hal-hal lain di luar dirinya.Nilai terkait dengan keyakinan seseorang atas
sesuatu yang mewajibkan dirinya untuk melestarikannya.
2.
Bahwa nilai teraplikasi dalam tindakan praktis, artinya
nilai sangat berkaitan dengan aktivitas seseorang. Amal adalah bukti nyata
bahwa seseorang telah memiliki nilai.
3.
Bahwa nilai-nilai bersifat subjektif
karena penilaiannya berhubungan dengan sifat-sifat yg di tambah oleh subjek
pada sifat-sifat yg di miliki objek. Oleh karena itu adalah lazim jika objek yg
sama memiliki nilai yg berbeda di kalangan masyarakat.
Berdasarkan
itu pula, terlihat bahwa kesadaran adalah kata kunci bagi perealisasian
nilai-nilai,dan oleh karena itu, maka dalam pembelajaran islam, penanaman nilai
mestilah pula dengan menumbuhkan
kesadaran kepada subjek didik bahwa suatu nilai berguna bagi realitas kehidupannya,terutama
dalam kaitan dirinya dengan alam dan tuhan. Ini berarti, bahwa pendidikan erat
kaitannya dengan penyadaraanakan nilai-nilai, sehingga nilai-nilai kemanusiaan itu benar-benar dapat diujud kan
dalam alam realitas manusia.
C.
Etika dan
Pendidikan
Etika berasala dari bahasa Inggris
yang disebut dengan ethic (singular), dalam bahasa Yunani berarti ethikos yang mengandung arti penggunaan, karakter,
kebiasaan, kecendrungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep,
seperti harus, mesti, salah, benar. Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berti ethos, tempat tinggal. Asal-usul “etika”
berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakuka
atau ilmu tentang adat kebiasaan. Artin
inilah yang menjadi latar belakang bagi terbenttuknya istilah “etika”
yang oleh Aristoteles (384-322 SM).
Nilai, moral, dan etika, merupakan
tiga istilah yg saling terkait yang biasanya dalam bahasa sehari hari dianggap
sepadan, baik dalam makna maupun dalam fungsi, pada hal ketiga kata itu
memiliki hakikat dan orientasi yg berbeda beda kendatipun antara satu dengan yang
lain terkait erat.
Nilai adalah gambaran seseorang
tentang sesuatu yang indah dan yang menarik, yang mempesona, yang menakjubkan,
yang membuat kita bahagia, senang dan ingin memilikinya.
Moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Moral berkenaan dengan kegiatan manusia yang di pandang sebagai baik/buruk,
benar/salah, tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku
dalam hubungan dengan orang lain..Plato
sebagai tokoh idealism berprinsip bahwa idea tentang kebaikan memberikan konsekuensi
logis pada pengembangan pengetahuan dan oleh karena itu, bangunan pendidikan
mestilah diarahkan pada pembentukan hidup yg baik yg tergambar pada prinsip
keadilan.Harmonisasi fungsi fungsi jiwa rasio, emosi dan syahwat mestilah
menjadi perhatian utama di dalam mengembangkan kepribadian manusia. Dua tipe
etika penting disini adalah intuisisme dan naturalisme.Kelompok intuisisme
mengatakan bahwa nilai moral di pahami oleh individu secara langsung.Kita
menangkap yg benar atau yang salah bagi sesuatu melalui perasaan moral bahwa
yang ada pada kita. Nilai moral kita pahami dalam cara seperti ini adalah right in self, kebenaran tidak dapat di
buktikan secara logika maupun ketika dites secara empiric. Ia hanya menjadi persoalan intuisi.
Kaum
naturalis berpendapat bahwa nilai moral itu harus ditentukan melalui studi
secara hati-hati terhadap konsekuensi yang muncul dari perbuatan tertentu.
Umpamanya bila orang meyakini hubungan seks di luar nikah adalah suatu secaa
moral, kita memutuskan yang demikian bukan karena keputusan etika yang di buat
atas persoalan ini, tetapi sebuah konsekuensi atas observasi seseorang atau
studi saintifik tentang efek hubungan seperti ini. Seseorang yang menerima
interprestasi pilihan etik yang naturalistic atau menerima nilai moral sesuai
dengan hasil penyelidikan saintifik yang menghasilkan perilaku right atau wrong yang telah teruji melalui pengalaman. Tegasnya, kaum
naturalistic berpendapat bahwa nilai moral harus di dasari pada pengujian
objektif akan konsekuensi praktis dari setiap tindakan perilaku manusia.
Nilai
moral itu diajarkan sperti mengajarkan pengetahuan actual? Socrates berusaha menjawab pertanyaan ini. Asuransi bahwa nilai
moral itu adalah laten bagi setiap orang, ia menyebutkan bahwa guru dapat
membawa nilai kedalam kesadaransubjek didik. Nilai moral seperti kita katakana
dapat diajarkan apabila pengajaran nilai moral itu kita artikan membantu subjek
didik menjadi sadar akan nilai nilai moral itu.
D.
Estetika dan Pendidikan
John Dewey
berpendapat, bahwa seseorangdapat memahami segala sesuatu sesuatu sain melalui penggunaan intelegensinya, namun hal
itu akan lebih mendalam jika ianya disentukan dengan praktik lain, yaitu seni.
Bahkan dengan tegas Dewey mengatakan
bahwa hanya orang yang menempatkan imaji seni dalam titik focus
argumentasinyalah yang akan dapat mengembangkan klaim scientific inquiry. Dengan seni, seseorang akan dapat menekuni apa
saja yang dilakukannya dengan rasa senang, bahagia dan penuh semangat, sehingga
dengan begitu ia akan dapat memaksimalkan potensinya untuk mencapai apa yang
diinginkannya.
Estetika merupakan studi nilai dalam realitas
keindahan.Nilai estetika biasanya sukar untuk di nilai, karena nilai ini
menjadi nilai milik personal dan sangat subjektif. Karya seni tertentu
umpamanya akan memunculkan banyak respon dari orang yang berbeda. Siapa pun
orangnya , jika ia meyakini, bahwa ada nilai estetika yang objektif, tentulah
ia dapat menentukan keputusan yang mengarah pada seni yang baik dan diterima
pleh banyak orang sebagai sebuah karya yang bernilai seni.
Walaupun telah sekian abad persoalan
penting ini didiskusikan dalam kajian
estetka, haruskah seni dihadirkan kembali? Atau haruskah ia menjadi produk
imajinasi penciptanya? Menurut pendapat pertama, seni harus merefleksikan
seutuhnya kehidupan dan pengalaman anak manusia.Sementara pandangan kedua
akspresi seni itu sendiri secara spontan berhubungan dengan aspek kehidupan
yang menarik bagi seniman.Contohnya sebuah gambar tidak pernah menjadi imitasi
bagi gambar sebelumnya.Seniman melahirkan keinginan dan pengalaman
personalnya.Ia mengekspresikan perasaannya tentang kecantikan dan keburukan
dari dunia ini atau boleh jadi menunjukkan bagaiman dunia ini semestinya
menurut tatanamnormatif yang di gambarkan. Menurut pandangan ini, seniman
menikmati kebebasannya tanpa batas untuk menggunakan mediumnya dalam upaya
mengisi kreativitas dirinya.
Menurut
kedua pandangan ini, persoalan yang tampil adalah berkaitan tentang apa subjek matters yang lebih baik dan pantas dan
apa scope seni itu sendiri. Sebagian
orang begpendapat bahwa jika seni itu merupakan ekspresi kehidupan, maka
tentulah berkenaan dengan semua aktivitas kehidupan manusia. Sementara yang
lain berpendapat bahwa seni itu mesti memerankan fungsi social, karena memang
inti aktivitas seni adalah mengajak orang lain turut merasakan apa yang seniman
rasakan dan atau apa yang seniman pikirkan. Seniman harus berbicara pada
manusia tentang massanya, kendatipun masih ada sekelompok orang yang merasa
skeptic akan tanggung jawab social dari seniman. Bagi John Dewey, kehadiran seni itu sendiri menjadi alat bagiakal
manusia untuk memandang dunia yang satu dalam kaitannya dengan dunia yang lain.
Muhammad Iqbal mengatakan bahwa
wujud keindahan adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari cinta kasih semata.
Keindahan dapat hilang seiring debngan adanya perubahan cara pandang subjek
yang menikmatinya, namunrasa cinta bersifat abadi dan karenanya, rasa cintalah
yang dapat memperlihatkanrahasia kehidupan. Keindahantampil dari wujud ekspresi
seseorang diri manusia dalam melihat dan melihat sesuatu realitas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengetahuan
adalah salah satu kekuatan yang dapat membentuk sejarah peradaban suatu bangsa,
dan bahkan kemajuan suatu masyarakat selalu di tandain dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan persekolahan selalu
dikatakan memiliki hubungan siknifikan. Hal ini paling tidak disebapkan karena
sekolah adalah lembaga tempat memberikan bimbingan,pengarahan, dan pembentukan
kepribadian melalui pentransferan ilmu pengetahuan, pembinaan sikap mental, dan
keteranpilan kepada subjek didiknya. Yang di bahas di antaranya. Pengertian
epistimologi
dan pengetahuan, Nilai dan pendidikan, Etika dan pendidikan,
Estetika dan pendidkan. Pengetahuan menurut beberapa ahli: Robert M.Z. Lawang, Menurut
Pudjawidjana (1983),
Tipe-tipe pengetahuan
Pengetahuan
wahyu (Reveaload Knowledge)
Pengetahuan intuitif (Intuitive
Knowledg)
Pengetahuan
rasional (Rational Knowledge)
Pengetahuan
Empiris (Empirical Knowledge)
Pengetahuan
Otoritatif
B.
Saran
Kamis sadari betul bahwa makalah ini masi jau dari kesempurnaan untuk itu
arahan dan bibmbingan mata kulliah filsafat pendidikan masi tetap diharapkan
demi untuk penyempurnaanya
DAFTAR PUSTAKA
Rizal
Mustansyir M.Hum. Drs Misnal Munir M. Hum. 2001.
Filsafat Ilmu. Cetakan
ke-1. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Muhmidayeli.
2011. filsafat pendidikan. Cetakan ke-1.
Bandung: PT Refika Aditama.
Ahmad
tafsir. 2004. Filsaft umum. Cetakan
ke-1. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar